25 persen pendapatan harian anak jalanan digunakan membeli rokok
15 September 2022 16:40 WIB
Tangkapan layar seorang peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono (bawah) dalam Webinar Ancaman Keterjangkauan Produk Rokok pada Anak Jalanan yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (15/9/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) membeberkan 25 persen dari total pendapatan harian yang diperoleh anak-anak jalanan untuk membeli rokok.
“25 persen dari pendapatan anak jalanan tersebut dihabiskan untuk belanja rokok. Itu ironi yang pertama, bukan untuk konsumsi yang positif,” kata seorang peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono dalam Webinar Ancaman Keterjangkauan Produk Rokok pada Anak Jalanan yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil penelitian PKJS UI tahun 2022, ia menyebutkan penghasilan anak jalanan antara Rp25.000-Rp100.000 per hari bila bekerja sebagai juru parkir atau antar jemput anak sekolah.
Sedangkan Rp200.000-Rp300.000 per hari bisa didapatkan jika bekerja sebagai juru parkir atau koordinator lapangan di pasar lama. Penghasilan tersebut tidak seluruhnya diberikan pada keluarga, namun untuk membeli kebutuhan pribadi dan produk lainnya, seperti rokok.
Dengan hasil pendapatan itu, ia menjelaskan jika anak jalanan tersebut dapat membeli 10-18 batang rokok atau hampir setengah bungkus rokok tanpa disadari per hari.
“Tidak sampai setengah bungkus, tapi ada yang 10 batang per hari. Dengan harga rokok yang mereka beli per harinya sekarang Rp20.000 sampai Rp27.000. Angka yang cukup fantastis dalam pendapatan harian yang setidaknya bisa digunakan untuk kebutuhan pokok,” katanya.
Baca juga: DPR RI minta penanganan kejahatan jalanan anak kedepankan pembinaan
Menurut seorang informan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang diwawancarai PKJS UI, Risky menyampaikan jika tingginya konsumsi rokok pada anak jalanan diakibatkan harga jual rokok di Indonesia, yang masih jauh lebih murah dibandingkan dengan luar negeri.
Risky menyebutkan kalaupun rokok di Indonesia mengalami kenaikan harga, naiknya hanya sekitar Rp1.000. Hal itu masih terjangkau untuk dibeli anak-anak, sedangkan harga rokok per batang Rp2.000.
Dengan kemudahan mengakses rokok, ia menyarankan pemerintah segera memperkuat regulasi teknis perlindungan anak dari bahaya rokok.
Ia juga meminta pemerintah kembali memikirkan skema kenaikan harga rokok agar konsumsi di usia anak dapat ditekan.
Baca juga: Dokter: Orang tua yang merokok pengaruhi pemberian gizi pada anak
Sebab, katanya, rokok menjadi salah satu penyebab kesenjangan ekonomi masyarakat. Di aspek lain, rokok menyebabkan mulut menjadi asam karena efek kecanduan rokok dan penurunan kondisi kesehatan, seperti tenggorokan gatal dan kering hingga mengalami sesak nafas.
“Akibat perilaku merokok itu, lingkungan juga ikut tercemar karena asap tebal mengganggu masyarakat yang lewat. Mereka jadi perokok pasif dan itu akan berbahaya bagi masa depan,” katanya.
Penelitian tersebut dilakukan PKJS-UI pada bulan Juni-Agustus 2022. Penelitian menggunakan pendekatan studi kualitatif kasus melalui diskusi kelompok terpumpun, observasi, dan wawancara mendalam.
Penelitian digelar di empat lokasi, yakni DKI Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Informan terdiri atas minimal tujuh anak jalanan berusia 10-17 tahun dan seorang perokok aktif, Kementerian Sosial, Kementerian PPPA, Dinas Sosial, dan lembaga swadaya masyarakat terkait.
Baca juga: Iklan rokok pengaruhi peningkatan perokok anak di Indonesia
Baca juga: Indonesia urutan tiga dunia prevalensi perokok anak
Baca juga: Bappenas: Negara hadir bantu masyarakat ingin berhenti merokok
“25 persen dari pendapatan anak jalanan tersebut dihabiskan untuk belanja rokok. Itu ironi yang pertama, bukan untuk konsumsi yang positif,” kata seorang peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono dalam Webinar Ancaman Keterjangkauan Produk Rokok pada Anak Jalanan yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil penelitian PKJS UI tahun 2022, ia menyebutkan penghasilan anak jalanan antara Rp25.000-Rp100.000 per hari bila bekerja sebagai juru parkir atau antar jemput anak sekolah.
Sedangkan Rp200.000-Rp300.000 per hari bisa didapatkan jika bekerja sebagai juru parkir atau koordinator lapangan di pasar lama. Penghasilan tersebut tidak seluruhnya diberikan pada keluarga, namun untuk membeli kebutuhan pribadi dan produk lainnya, seperti rokok.
Dengan hasil pendapatan itu, ia menjelaskan jika anak jalanan tersebut dapat membeli 10-18 batang rokok atau hampir setengah bungkus rokok tanpa disadari per hari.
“Tidak sampai setengah bungkus, tapi ada yang 10 batang per hari. Dengan harga rokok yang mereka beli per harinya sekarang Rp20.000 sampai Rp27.000. Angka yang cukup fantastis dalam pendapatan harian yang setidaknya bisa digunakan untuk kebutuhan pokok,” katanya.
Baca juga: DPR RI minta penanganan kejahatan jalanan anak kedepankan pembinaan
Menurut seorang informan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang diwawancarai PKJS UI, Risky menyampaikan jika tingginya konsumsi rokok pada anak jalanan diakibatkan harga jual rokok di Indonesia, yang masih jauh lebih murah dibandingkan dengan luar negeri.
Risky menyebutkan kalaupun rokok di Indonesia mengalami kenaikan harga, naiknya hanya sekitar Rp1.000. Hal itu masih terjangkau untuk dibeli anak-anak, sedangkan harga rokok per batang Rp2.000.
Dengan kemudahan mengakses rokok, ia menyarankan pemerintah segera memperkuat regulasi teknis perlindungan anak dari bahaya rokok.
Ia juga meminta pemerintah kembali memikirkan skema kenaikan harga rokok agar konsumsi di usia anak dapat ditekan.
Baca juga: Dokter: Orang tua yang merokok pengaruhi pemberian gizi pada anak
Sebab, katanya, rokok menjadi salah satu penyebab kesenjangan ekonomi masyarakat. Di aspek lain, rokok menyebabkan mulut menjadi asam karena efek kecanduan rokok dan penurunan kondisi kesehatan, seperti tenggorokan gatal dan kering hingga mengalami sesak nafas.
“Akibat perilaku merokok itu, lingkungan juga ikut tercemar karena asap tebal mengganggu masyarakat yang lewat. Mereka jadi perokok pasif dan itu akan berbahaya bagi masa depan,” katanya.
Penelitian tersebut dilakukan PKJS-UI pada bulan Juni-Agustus 2022. Penelitian menggunakan pendekatan studi kualitatif kasus melalui diskusi kelompok terpumpun, observasi, dan wawancara mendalam.
Penelitian digelar di empat lokasi, yakni DKI Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Informan terdiri atas minimal tujuh anak jalanan berusia 10-17 tahun dan seorang perokok aktif, Kementerian Sosial, Kementerian PPPA, Dinas Sosial, dan lembaga swadaya masyarakat terkait.
Baca juga: Iklan rokok pengaruhi peningkatan perokok anak di Indonesia
Baca juga: Indonesia urutan tiga dunia prevalensi perokok anak
Baca juga: Bappenas: Negara hadir bantu masyarakat ingin berhenti merokok
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022
Tags: