Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pakar kesehatan memperingatkan bahwa keputusan Amerika Serikat (AS) meluncurkan vaksin penguat (booster) baru untuk virus corona tanpa melewati uji klinis pada manusia berisiko merusak kepercayaan publik dan meningkatkan keraguan terhadap vaksin, seperti dilansir The Financial Times (FT).

Surat kabar Inggris itu pada Senin (12/9) mengatakan bahwa pemerintahan Joe Biden menggunakan booster bivalen, yang mengandung galur COVID-19 asli dan kode genetik dari subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 untuk memvaksinasi lebih banyak warga Amerika terhadap virus tersebut.

Pemerintah Amerika Serikat telah membeli 171 juta dosis booster BioNTech/Pfizer dan Moderna seharga 5 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.861) dan mempercepat otorisasi sebelum uji coba pada manusia selesai, berharap booster tersebut dapat memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap varian-varian dominan dibanding vaksin COVID yang sudah ada, menurut laporan itu.

Kendati demikian, beberapa ahli kesehatan mengatakan bahwa booster itu hanya menghasilkan data terbatas dari sejumlah kecil tes pada tikus. Menurut mereka, tidak ada bukti bahwa booster tersebut memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap infeksi atau penyakit parah dibandingkan vaksin yang sudah ada.

"Tanpa data dan mendapatkan respons manusia setidaknya dalam jumlah orang yang terbatas, Anda justru hanya mengaturnya untuk kelompok antivaksin, antisains," tulis laporan itu mengutip Eric Topol, pendiri sekaligus direktur Scripps Research Translational Institute.

"Sudah ada kelompok yang menyebutnya vaksin tikus ... Kita sudah memiliki masalah kepercayaan di negara ini dan kita tidak perlu memperburuknya," katanya.