Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai keberadaan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tidak sejalan dengan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia.

"Kalau menurut kami, adanya ambang batas pencalonan presiden ini hal yang tidak sejalan dengan sistem presidensial yang kita gunakan," kata Khoirunnisa dalam webinar "Gerakan Sosial demi Demokrasi", seperti dipantau dari kanal YouTube AIPI Indonesia di Jakarta, Rabu.

Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa, menjelaskan sistem presidensial di Indonesia memiliki DPR dan presiden yang sesungguhnya tidak saling tergantung dalam pencalonannya.

"Berbeda dengan sistem pemilu di parlementer, di mana pemenang pemilu adalah yang membentuk pemerintahan," tambahnya.

Baca juga: Peneliti: Parpol bakal pusing dengan ketentuan ambang batas 20 persen

Dengan adanya syarat minimal pencalonan, lanjutnya, maka tidak semua partai politik peserta pemilu dapat mencalonkan presiden. Sehingga, mau tidak mau partai politik peserta pemilu harus membangun sebuah koalisi pencalonan.

"Padahal, kalau kekhawatirannya adalah nanti calonnya akan banyak, kan sebetulnya UUD kita sudah membatasi bahwa yang bisa mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden adalah partai politik peserta pemilu," katanya.

Selain itu, menurutnya, syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu pun sangat berat dan sangat mahal.

"Apalagi di KPU (Komisi Pemilihan Umum) ada proses verifikasi, baik secara administrasi dan faktual. Itu juga sangat ketat prosesnya," imbuhnya.

Oleh karena itu, dengan adanya syarat pencalonan presiden, dia menilai publik menjadi tidak memiliki pilihan alternatif pasangan capres dan cawapres.

"Syarat pencalonan presiden ini juga yang kemudian menyebabkan calonnya terbatas, kita tidak punya pilihan alternatif pasangan capres dan cawapres," ujar Ninis.

Baca juga: Pakar UGM: Ambang batas capres nol persen justru bisa bermasalah