Aftech: HAKI jadi agunan harus pasti kepemilikan dan valuasinya
9 September 2022 16:54 WIB
Para pembicara dari Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Perbanas dan Kadin dalam konferensi pers MoU ketiga pihak di Jakarta, Jumat (9/9/2022). ANTARA/ Muhammad Heriyanto.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Dickie Widjaja mengatakan implementasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagai jaminan kredit ke lembaga keuangan memiliki tantangan, yakni harus ada kepastian kepemilikan dan valuasinya.
"HAKI sebagai jaminan, dalam collateral (jaminan) ada dua hal, satu kepastian dari kepemilikannya, satu kepastian dari valuasinya," kata Dickie dalam konferensi pers MoU Aftech, Perbanas dan Kadin di Jakarta, Jumat.
Terkait kepastian kepemilikan, Dickie mengatakan perlu disiapkan framework untuk membuktikan kepemilikan atas suatu karya, sehingga penyaluran kredit dapat tepat sasaran.
Sedangkan terkait kepastian valuasi, dia mengatakan perlu disiapkan skema untuk menghitung valuasi atas suatu karya, sehingga penetapan nilainya dapat lebih jelas.
"Itu yang mesti perlu dipelajari, dan masing-masing lembaga keuangan memiliki caranya tersendiri untuk memastikan valuasinya," kata Dickie.
Apabila lembaga keuangan sudah dapat menentukan cara terkait kepastian kedua unsur itu, menurut dia, HAKI sebagai jaminan kredit dapat diimplementasikan dan dikembangkan.
Dalam kesempatan sama, Wakil Kepala Badan III Sistem Pembayaran Digital dan Neobank Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaspar Situmorang mengatakan penetapan HAKI sebagai jaminan kredit ke lembaga keuangan dapat mendorong perkembangan para pelaku usaha nonformal.
Menurut dia, saat ini masih banyak pelaku usaha nonformal yang kesulitan menjangkau kredit dari lembaga keuangan karena permasalahan jaminan.
Dia mengatakan lembaga keuangan perlu bekerja sama dengan berbagai platform digital untuk mengenali kepemilikan maupun valuasi suatu karya, sehingga HAKI sebagai jaminan kredit bisa diimplementasikan.
"Kami melihatnya ada peluang, baik di dalam ataupun luar negeri untuk mengarah kesana (implementasi HAKI sebagai jaminan kredit)," kata Kaspar.
Menurut dia, dengan nilai transaksi bank digital mencapai Rp39.841 triliun pada tahun 2021, atau tumbuh sebesar 45,64 persen dari tahun sebelumnya pada 2020, implementasi HAKI sebagai jaminan kredit tidak akan lama lagi di Indonesia.
Seperti diketahui, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan kerangka regulasi HAKI sebagai agunan atau jaminan atas pinjaman dari lembaga keuangan.
Dian mengatakan implementasi ini memiliki tantangan yakni adanya fluktuasi nilai HAKI yang bergantung pada sentimen pasar, seperti kinerja pemasaran, tren selera masyarakat, time value, dan usia ekonomi produktif.
Baca juga: BNI: Penerapan HAKI jadi agunan akan dongkrak pangsa pasar perbankan
Baca juga: OJK: Ketidakjelasan perikatan jadi tantangan HKI sebagai agunan
Baca juga: OJK siapkan kerangka regulasi dukung HAKI sebagai jaminan utang
"HAKI sebagai jaminan, dalam collateral (jaminan) ada dua hal, satu kepastian dari kepemilikannya, satu kepastian dari valuasinya," kata Dickie dalam konferensi pers MoU Aftech, Perbanas dan Kadin di Jakarta, Jumat.
Terkait kepastian kepemilikan, Dickie mengatakan perlu disiapkan framework untuk membuktikan kepemilikan atas suatu karya, sehingga penyaluran kredit dapat tepat sasaran.
Sedangkan terkait kepastian valuasi, dia mengatakan perlu disiapkan skema untuk menghitung valuasi atas suatu karya, sehingga penetapan nilainya dapat lebih jelas.
"Itu yang mesti perlu dipelajari, dan masing-masing lembaga keuangan memiliki caranya tersendiri untuk memastikan valuasinya," kata Dickie.
Apabila lembaga keuangan sudah dapat menentukan cara terkait kepastian kedua unsur itu, menurut dia, HAKI sebagai jaminan kredit dapat diimplementasikan dan dikembangkan.
Dalam kesempatan sama, Wakil Kepala Badan III Sistem Pembayaran Digital dan Neobank Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaspar Situmorang mengatakan penetapan HAKI sebagai jaminan kredit ke lembaga keuangan dapat mendorong perkembangan para pelaku usaha nonformal.
Menurut dia, saat ini masih banyak pelaku usaha nonformal yang kesulitan menjangkau kredit dari lembaga keuangan karena permasalahan jaminan.
Dia mengatakan lembaga keuangan perlu bekerja sama dengan berbagai platform digital untuk mengenali kepemilikan maupun valuasi suatu karya, sehingga HAKI sebagai jaminan kredit bisa diimplementasikan.
"Kami melihatnya ada peluang, baik di dalam ataupun luar negeri untuk mengarah kesana (implementasi HAKI sebagai jaminan kredit)," kata Kaspar.
Menurut dia, dengan nilai transaksi bank digital mencapai Rp39.841 triliun pada tahun 2021, atau tumbuh sebesar 45,64 persen dari tahun sebelumnya pada 2020, implementasi HAKI sebagai jaminan kredit tidak akan lama lagi di Indonesia.
Seperti diketahui, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan kerangka regulasi HAKI sebagai agunan atau jaminan atas pinjaman dari lembaga keuangan.
Dian mengatakan implementasi ini memiliki tantangan yakni adanya fluktuasi nilai HAKI yang bergantung pada sentimen pasar, seperti kinerja pemasaran, tren selera masyarakat, time value, dan usia ekonomi produktif.
Baca juga: BNI: Penerapan HAKI jadi agunan akan dongkrak pangsa pasar perbankan
Baca juga: OJK: Ketidakjelasan perikatan jadi tantangan HKI sebagai agunan
Baca juga: OJK siapkan kerangka regulasi dukung HAKI sebagai jaminan utang
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: