Bangkok (ANTARA News) - Pemungutan suara bermasalah di Thailand yang berlangsung mulai pukul 08:00 waktu setempat (08:00 WIB), Ahad (2/4) lantaran telah dijadikan sebagai referendum kepemimpinan pemerintahan agaknya sulit mengamankan posisi Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra. Thaksin menyerukan pemilihan umum tersebut tiga tahun lebih awal setelah menghadapi protes besar di jalan terhadap dia. Ia, diperkirakan banyak pihak, akan menang lantaran dukungan yang kuat di daerah pedesaan. Dan, Thaksin pun telah berjanji akan meninggalkan partainya, Thai Rak Thai (Rakyat Thailand Mencintai Thailand), jika hanya meraih kurang dari 50 persen suara. Tetapi, partai oposisi telah memboikot pemungutan suara itu, dan sebanyak 400 calon anggota parlemen telah didiskualifikasi lantaran melanggar proses pencalonan, sehingga Thaksin tampaknya takkan dapat memerintah sekalipun ia menang dalam pemungutan suara tersebut. Pemboikotan itu juga berarti hasil pemungutan suara hampir dapat dipastikan takkan membuat semua 500 kursi parlemen terisi sebelum pemerintah baru dapat dibentuk. "Pemungutan suara ini akan menghasilkan kebuntuan yang berlarut-larut selama berbulan-bulan. Hasil akhir akan jauh dari menentukan," kata ahli ilmu politik Thailand, Somjai Phagaphasvivat. Krisis tersebut sudah merenggut korbannya di sektor ekonomi, dan melumpuhkan pengambilan-keputuan dalam kegiatan usaha, serta membuat lemah pasat bursa, penampilan terburuk kedua di Asia Tenggara setelah Malaysia tahun ini, ujarnya. Para calon Thai Rak Thai maju tanpa pesaing, tapi sebanyak 50 calon diduga akan gagal meraih jumlah minimum 20 persen suara yang mereka perlukan untuk meraih kursi tanpa persaingan, sehingga menimbulkan keraguan mengenai keabsahan tentang hasil pemilihan umum tersebut. Thaksin, multi-jutawan telekomunikasi berusia 56 tahun selepas dari dinas kepolisian, telah mendesak kelompok oposisi untuk menerima baik hasil pemungutan suara itu, yang terbuka bagi sebanyak 45 juta warga Thailand. "Setelah pemilihan umum, setiap orang mesti bergandeng tangan. Ini seperti olah raga. Ketika wasit meniup peluit, kita harus berjabat tangan setelah pertandingan berakhir," katanya. Tetapi, Thaksin menghadapi perjuangan berat di 14 provinsi Thailand selatan, tempat partainya hanya meraih satu kursi pada pemilihan umum 2005, yang mengantar dia ke kursi pimpinan dengan 377 kursi di parlemen yang memiliki 500 anggota. Ia merupakan mayoritas terbesar dalam sejarah Thailand. Oposisi berikrar akan menjadikan wilayah tersebut sebagai "zona bebas Thai Rak Thai", dan banyak pemilih menyatakan sepakat. "Saya akan memberi suara, tapi bukan untuk Thaksin. Saya memberi suara bukan untuk siapa-siapa," kata Jum Rutikan, penjaga bar berusia 26 tahun di pulau pelancongan Phuket. "Kami di selatan tak mengingini Thaksin," tambahnya. Thaksin cenderung dibenci oleh warga Thailand selatan yang mayoritas Muslim lantaran kebijakan pemerintahannya berkali-kali membuat konflik di kawasan tersebut. Selain itu, Thaksin citranya semakin melorot atas tuduhan melakukan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) lantaran perusahaan telekomunikasi milik keluarganya dijual ke pihak Singapura tanpa dikenai pajak. (*)