Semarang (ANTARA) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan K.H. Yahya Cholil Staquf menjejakkan langkah penting ketika mengunjungi Gedung Dakwah Muhammadiyah di Menteng, Jakarta, pada 4 September 2022.

Gus Yahya disambut langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Sekretaris Abdul Mu'ti, dan Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari. Adapun Gus Yahya dalam silaturahmi itu didampingi Ketua Pelaksana Forum Religion 20 (R-20) K.H. Ahmad Suaedy.

Kendati selama ini silaturahmi antarpetinggi kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu sering dilakukan, pertemuan tersebut memberi sinyal lebih kuat untuk lebih mempererat hubungan dan kerja sama kelembagaan dua organisasi ini. Keharmonisan hubungan tersebut bakal merembet ke massa akar rumput kedua ormas Islam tersebut. Pada akhirnya, semua itu bakal memperkuat ikatan kebangsaan.

Gus Yahya, yang merupakan salah satu pengasuh di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu menginginkan kerja sama yang lebih erat antara PBNU dengan PP Muhammadiyah. PBNU juga mulai membicarakan kemungkinan kerja sama kelembagaan antara kedua ormas ini dalam mengakses berbagai masalah di tengah masyarakat.

Gesekan-gesekan kecil di akar rumput kadang memang terjadi, namun tidak pernah sampai bereskalasi. Hal itu lebih sering dipercikkan oleh adanya perbedaan kecil dalam praktik keagamaan, yang belakangan ini jamaah dari kedua organisasi itu memahaminya sebagai bentuk keberagaman cara beragama yang harus dihormati.

Para indonesianis, dulu, membagi tipologi umat kedua ormas tersebut secara diametral: modern dan tradisional; fenomena perkotaan dan perdesaan; sekolah dan pesantren; dan semacamnya, yang merujuk Muhammadiyah pada tipologi yang pertama dan NU yang kedua.

Namun, tipologi tersebut tidak lagi kontekstual dan relevan saat ini karena sekarang ini NU juga menjadi fenomena perkotaan. Banyak sekali intelektual NU yang mengisi ruang-ruang akademik di perguruan tinggi, LSM, hingga menduduki jabatan penting di korporasi. Belum lagi jabatan-jabatan penting di partai politik dan lembaga negara.

NU juga banyak mendirikan perguruan tinggi di kota-kota besar, yang menawarkan beragam program studi sains dan teknologi. Begitu pula dengan layanan kesehatan yang makin tumbuh subur, tidak hanya di perkotaan tapi juga di perdesaan.

Sementara itu, Muhammadiyah yang sudah puluhan tahun aktif "bermain" di layanan kesehatan dan pendidikan hingga memiliki seratus lebih perguruan tinggi dan puluhan ribu sekolah, belakangan juga rajin membuka pesantren, yang dulu nyaris menjadi ciri khas lembaga pendidikan NU.

Oleh karena itu, bersamaan dengan makin menyebarnya kader dan jamaah NU di perkotaan, kiranya tak lagi relevan menyederhanakan tipologi kedua ormas itu dalam dua kutub berjauhan. Fenomena sosiologis kedua massa ormas tersebut makin berimpitan dan makin membuka peluang untuk menjalin kerja sama.

Kerja sama tersebut bukan saja akan memberi keuntungan bagi NU dan Muhammadiyah, melainkan juga bagi bangsa Indonesia. Kedua ormas yang memiliki 100 juta lebih kader, anggota, dan simpatisan itu menjadi modal amat penting untuk menguatkan ikatan kebangsaan.

Apalagi NU dan Muhammadiyah juga menganggap negara Pancasila sebagai bentuk yang ideal dalam konteks keberagaman bangsa Indonesia. Jadi, keduanya tidak bakal lagi mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi bangsa.


Ladang bersama

Muhammadiyah setelah kelahirannya pada tahun 1912 memang banyak menggarap ladang yang juga menjadi tanggung jawab negara, misalnya, mendirikan rumah sakit, sekolah-sekolah, hingga lembaga penyantunan, seperti panti asuhan dan panti jompo.

Ketiga ladang besar garapan tersebut berkembang pesat, terutama di sektor kesehatan (rumah sakit dan klinik) dan lembaga pendidikan, dari taman bermain, taman kanak-kanak, hingga perguruan tinggi. Bahkan, Muhammadiyah pada tahun 2022 membuka Muhammadiyah Australia College (MAC) di negara benua tersebut.

Keberadaan layanan kesehatan, pendidikan, panti asuhan, panti jompo, bahkan lembaga keuangan itu tersebar dari daerah hingga kota-kota besar.

Begitu pula yang dilakukan NU dalam 1 dasawarsa terakhir ini juga banyak menggarap ladang yang sama. Perguruan tinggi NU banyak tersebar di kota-kota besar dan terus berbenah untuk menjadi perguruan tinggi unggul. Dengan melimpahnya SDM berpendidikan tinggi dan kaum profesional, kiranya tinggal menunggu waktu saja lembaga pendidikan NU berada di garis depan.

Ladang garapan NU dan Muhammadiyah memang banyak beririsan, namun keduanya tetap memiliki "pasar" yang berbeda, sehingga keberadaannya bukan saja saling melengkapi, melainkan mampu memperluas cakupan sasaran.

Dari sisi pembentukan karakter bangsa, NU dan Muhammadiyah -- yang selama ini telah mengambil peran di dalamnya -- juga bisa memperluas jangkauan karena kedua ormas ini memiliki jaringan hingga desa. Pengurus di level terbawah ini memiliki semangat tinggi menjalankan roda organisasi.

Ketersediaan kader terdidik hingga level bawah menjadikan peran serta kedua ormas tersebut dalam pembentukan dan penguatan karakter bangsa bisa lebih efektif karena mereka lebih menguasai kondisi jamaah yang ada di bawah.

Bagi Indonesia, penguatan karakter bangsa merupakan keniscayaan di tengah derasnya pengaruh berbagai ideologi transnasional berkat kemajuan teknologi informasi. Pertarungan ideologi tidak hanya di ranah perdebatan ide, namun dalam beberapa kasus ada kelompok yang mencoba memaksakan ideologi di luar Pancasila.

Melalui jaringan NU dan Muhammadiyah di luar negeri, terutama cabang atau perwakilan kedua ormas itu, keduanya juga bisa menjelaskan secara langsung wajah Islam di Indonesia yang moderat dan terbuka.

Kemudian, organisasi perempuan Muslimat (NU) dan Aisyiyah (Muhammadiyah) dengan jaringan hingga bawah selama ini juga sudah membuktikan peran dan kontribusi dalam memberdayakan kaum perempuan. Kedua organisasi perempuan ini bukanlah pelengkap dari NU dan Muhammadiyah, melainkan menjadi mesin otonom yang benar-benar mampu memberdayakan kaum Hawa dan berperan menyiapkan generasi sejak dini melalui lembaga pendidikan PG dan TK.

Kiprah kedua organisasi tersebut harus diakui banyak membentuk wajah perempuan Islam Indonesia, yang bukan menampakkan sosok kanca wingking (pendamping), melainkan wajah aktif, terbuka, mandiri, sekaligus berani mengambil peran di tengah masyarakat.

Menilik kiprah panjang beserta kontribusi nyata NU dan Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia, saatnya kedua ormas ini bergandeng tangan lebih erat guna memperbesar sumbangsihnya untuk Indonesia dengan kerja sama konkret.