Riset PSPP dorong peningkatan pemahaman rupiah di perbatasan
4 September 2022 21:15 WIB
Pemaparan hasil riset yang dilakukan Pusat Studi Perbatasan dan Pesisir (PSPP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bersama Bank Indonesia (BI) di Jakarta, beberapa waktu lalu. ANTARA/HO- Dokumentasi Pribad
Jakarta (ANTARA) - Riset yang dilakukan Pusat Studi Perbatasan dan Pesisir (PSPP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bersama Bank Indonesia (BI) mendorong peningkatan pemahaman rupiah di perbatasan.
“Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa persepsi dan perilaku masyarakat terhadap rupiah sangat dipengaruhi oleh kondisi ketergantungan ekonomi dengan negara Malaysia,” ujar Ketua Tim Riset, Endang Rudiatin, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad,
Dari hasil analisa, diketahui secara enkulturasi masyarakat lokal hanya mengetahui bahwa Ringgit dapat diperlakukan sama dengan Rupiah sebagai alat tukar dan berlaku dalam transaksi perdagangan.
“Bagi mereka ketiadaan larangan dari aparat pemerintah sama dengan mengizinkan membuat aturan sendiri tentang penggunaan rupiah,” jelas dia.
Baca juga: Kemenkeu kesulitan sosialisasikan mata uang di perbatasan
Baca juga: BI dirugikan beredarnya uang ringgit Malaysia
Penelitian yang dilakukan bersama BI tersebut mengangkat topik terkait kepedulian penggunaan rupiah di Sebatik Nunukan Kalimantan Utara. Riset tersebut dilatarbelakangi oleh potensi beredarnya mata uang asing sebagai alat pembayaran di kawasan perbatasan.
Penggunaan rupiah telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan dipertegas melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran (SE) No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari survei didapatkan fakta bahwa para pelintas batas terutama para pedagangnya baik kecil maupun besar, memiliki dwi identitas yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia dan Identity Card (IC) Malaysia, yang dipicu dari kesenjangan tingkat kesejahteraan diantara dua negara Indonesia-Malaysia.
Baca juga: Transaksi di perbatasan harus pakai rupiah
Baca juga: TNI dan BI operasi eksistensi rupiah di perbatasan
Selain itu, banyaknya para pelintas batas memiliki kewarganegaraan ganda untuk kebutuhan kesejahteraan dan upaya melindungi hak asasi warga negara terhadap status kewarganegaraannya. Hal itu tentu tidak memungkinkan bagi Indonesia yang menganut satu kewarganegaraan.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong adanya gerakan cinta bangga paham rupiah, perlu meningkatkan edukasi terkait penggunaan rupiah, melakukan sosialisasi berkala, serta BI perlu memahami sosial budaya dan tradisi masyarakat terutama dalam melintas batas, dan lainnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sekaligus Ketua BPH UMJ, Prof Abdul Mu'ti berpendapat bahwa penelitian seperti ini dapat dimanfaatkan bagi problem solving permasalahan di masyarakat.
Baca juga: Misbakhun dan BI sosialisasi Gerakan Cinta Rupiah di pulau terpencil
Baca juga: Presiden Jokowi minta masyarakat perbatasan gunakan dan cintai rupiah
“Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa persepsi dan perilaku masyarakat terhadap rupiah sangat dipengaruhi oleh kondisi ketergantungan ekonomi dengan negara Malaysia,” ujar Ketua Tim Riset, Endang Rudiatin, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad,
Dari hasil analisa, diketahui secara enkulturasi masyarakat lokal hanya mengetahui bahwa Ringgit dapat diperlakukan sama dengan Rupiah sebagai alat tukar dan berlaku dalam transaksi perdagangan.
“Bagi mereka ketiadaan larangan dari aparat pemerintah sama dengan mengizinkan membuat aturan sendiri tentang penggunaan rupiah,” jelas dia.
Baca juga: Kemenkeu kesulitan sosialisasikan mata uang di perbatasan
Baca juga: BI dirugikan beredarnya uang ringgit Malaysia
Penelitian yang dilakukan bersama BI tersebut mengangkat topik terkait kepedulian penggunaan rupiah di Sebatik Nunukan Kalimantan Utara. Riset tersebut dilatarbelakangi oleh potensi beredarnya mata uang asing sebagai alat pembayaran di kawasan perbatasan.
Penggunaan rupiah telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan dipertegas melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran (SE) No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari survei didapatkan fakta bahwa para pelintas batas terutama para pedagangnya baik kecil maupun besar, memiliki dwi identitas yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia dan Identity Card (IC) Malaysia, yang dipicu dari kesenjangan tingkat kesejahteraan diantara dua negara Indonesia-Malaysia.
Baca juga: Transaksi di perbatasan harus pakai rupiah
Baca juga: TNI dan BI operasi eksistensi rupiah di perbatasan
Selain itu, banyaknya para pelintas batas memiliki kewarganegaraan ganda untuk kebutuhan kesejahteraan dan upaya melindungi hak asasi warga negara terhadap status kewarganegaraannya. Hal itu tentu tidak memungkinkan bagi Indonesia yang menganut satu kewarganegaraan.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong adanya gerakan cinta bangga paham rupiah, perlu meningkatkan edukasi terkait penggunaan rupiah, melakukan sosialisasi berkala, serta BI perlu memahami sosial budaya dan tradisi masyarakat terutama dalam melintas batas, dan lainnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sekaligus Ketua BPH UMJ, Prof Abdul Mu'ti berpendapat bahwa penelitian seperti ini dapat dimanfaatkan bagi problem solving permasalahan di masyarakat.
Baca juga: Misbakhun dan BI sosialisasi Gerakan Cinta Rupiah di pulau terpencil
Baca juga: Presiden Jokowi minta masyarakat perbatasan gunakan dan cintai rupiah
Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022
Tags: