Jakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Lampung Ustaz H. Suparman Abdul Karim menyatakan hanya pecundang yang masih memainkan isu islamofobia.

Ustaz Suparman menilai narasi islamofobia dengan memosisikan diri dan kelompoknya seolah korban kebijakan negara yang zalim, sejatinya merupakan isu yang berulang dan tidak strategis.

"Ini isu yang berulang. Sifatnya berulang dan tidak strategis. Akan tetapi bagi mereka yang pecundang sebetulnya juga inferior, ya, mungkin ini sudah menjadi hiburan bagi mereka, melakukan playing victim, merasa terzalimi, dan lain sebagainya," ujar Ustaz Suparman dalam rilis BNPT yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, maraknya kemunculan narasi ini karena kelompok radikal kerap menganggap isu ini sebagai isu yang paling efektif untuk menjaring simpati massa yang mayoritasnya penganut agama Islam.

"Karena inilah yang paling efektif untuk menyulut sensitivitas massa, yang mayoritas di negara Indonesia ini beragama Islam. Dikatakan laku, ya, tentunya laku hanya bagi kelompok mereka saja," ucap anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung ini.

Tokoh yang dikenal dengan ceramah kritis terkait dengan isu radikal dan terorisme ini juga menganggap isu islamofobia amat sarat akan kepentingan politik, khususnya oleh kelompok politik yang kerap menggunakan label keislaman.

Ia menilai kekalahan kelompok tersebut di pentas politik menjadi pemicu sikap playing victim mereka.

"Bisa diibaratkan seperti para pecundang yang tidak kesatria untuk mengakui kekalahannya, atau seperti anak kecil yang kurang perhatian. Ini menguat menjadi sebuah kepentingan bersama dari beberapa kelompok politik yang merasa terkalahkan," kata Owner and Founder Di Sedekah Seribu Sehari ini.

Baca juga: Siswi Muslimah jadi sasaran serangan Islamfobia di Inggris
Baca juga: Perempuan di seluruh dunia pakai hijab untuk perangi islamfobia


Oleh karena itu, Ustaz Suparman menilai setidak ada dua hal guna mematahkan narasi islamofobia yang kerap kali berkembang di tengah masyarakat.

"Yang mesti dipatahkan pada kenyataannya di negara yang mayoritas muslim ini tidak ada sama sekali orang yang ketakutan terhadap Islam. Bangsa kita yang mayoritas muslim ini hidup tenang tenang saja, berislam dengan baik-baik saja," katanya.

Islamofobia sendiri sejatinya adalah isu yang dikembangkan di negara Barat setelah runtuhnya Gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon. Orang-orang nonmuslim yang mayoritas di Amerika Serikat belum paham betul tentang Islam. Mereka menjadi ketakutan seolah-olah Islam ini mengajarkan radikalisme dan terorisme.

Kedua, pada kenyataannya yang terjadi ini adalah banyak yang mengajarkan ajaran radikal, dan mengarah kepada aksi terorisme dan intoleransi tetapi membalutnya sebagai ajaran Islam. Ketika dikritik, mereka malah putar balikkan bahwa ini bentuk dari intoleransi dan islamofobia.

Ustaz Suparman mengatakan bahwa intinya semua pihak harus berani mematahkan narasi kelompok radikal sesuai dengan narasi yang mereka bawa dengan fakta dan dasar yang benar serta relevan.

"Hal-hal yang berasal dari pengaburan fakta akan terus digoreng guna menakut-nakuti khalayak ramai. Kalau ini dibiarkan terus, akan dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran," tuturnya.

Untuk itu, dia berharap ada ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan hal ini melalui regulasi yang tepat, mengingat hal ini justru dapat menjadi ancaman terhadap persatuan bangsa.

"Ini sebetulnya yang harus dipertegas. Pemerintah harus lebih tegas dalam membuat aturan. Kerena playing victim ini ujung-ujungnya bermuara kepada fitnah, penyebaran berita bohong (hoaks). Hukum harus dikuatkan," kata Ustaz Suparman.