Sydney (ANTARA) - Saham-saham Asia melemah pada awal perdagangan Senin, karena meningkatnya risiko kenaikan suku bunga yang lebih agresif di Amerika Serikat dan Eropa mendorong imbal hasil obligasi lebih tinggi dan menguji valuasi ekuitas dan pendapatan.

Janji Ketua Federal Reserve Jerome Powell tentang kebijakan "sakit" untuk menahan inflasi membatalkan harapan bahwa bank sentral akan bergerak untuk menyelamatkan pasar seperti yang sering terjadi di masa lalu.

Pesan keras juga didorong oleh anggota dewan Bank Sentral Eropa (ECB) Isabel Schnabel yang memperingatkan selama akhir pekan bahwa bank sentral sekarang harus bertindak tegas untuk memerangi inflasi, sekalipun jika langkah itu menyeret ekonomi mereka ke dalam resesi.

"Pekerjaan utama adalah menjinakkan inflasi adalah pekerjaan nomor satu untuk The Fed dan Funds Rate perlu mencapai tingkat pembatasan 3,5 peren hingga 4,0 persen," kata Jason England, manajer portofolio obligasi global di Janus Henderson Investors.

"Suku bunga harus tetap lebih tinggi sampai inflasi diturunkan ke target mereka 2,0 persen, sehingga penurunan suku bunga yang masuk ke pasar untuk tahun depan terlalu dini."

Pasar berjangka sekarang memperkirakan sekitar 60 persen kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga 75 basis poin pada September, dan memperkirakan suku bunga memuncak di kisaran 3,75-4,0 persen.

Banyak yang mungkin bergantung pada apa yang ditunjukkan oleh angka gaji Agustus pada Jumat ini (2/9/2022) ketika analis mencari kenaikan moderat 285.000 menyusul kenaikan luar biasa pada Juli sebesar 528.000.

Pesan hawkish bukanlah yang ingin didengar Wall Street dan kontrak berjangka S&P 500 turun lebih lanjut 1,1 persen, setelah merosot hampir 3,4 persen pada Jumat (26/8/2022). Nasdaq berjangka kehilangan 1,5 persen dengan saham teknologi tertekan oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.

Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang merosot 0,7 persen. Indeks Nikkei Jepang anjlok 2,3 persen, sementara KOSPI Korea Selatan jatuh 2,3 persen.

Paduan suara agresif dari bank-bank sentral mengangkat imbal hasil jangka pendek secara global, sementara selanjutnya membalikkan kurva obligasi pemerintah karena investor pada akhirnya memperkirakan penurunan ekonomi.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS dua tahun naik menjadi 3,44 persen, jauh di atas imbal hasil sepuluh tahun di 3,08 persen. Imbal hasil naik di seluruh Eropa dengan keuntungan dua digit di Italia, Spanyol dan Portugal.

Semuanya menguntungkan mata uang safe-haven dolar AS sehingga naik ke 109,15 dan hanya sedikit dari level tertinggi 20 tahun di 109,29 yang dicapai pada Juli.

Dolar mencetak tertinggi lima minggu terhadap yen di 138,21, dengan bullish ingin menguji kembali puncak Juli di 139,38.

Euro sedang berjuang di 0,9937 dolar, tidak jauh dari palung dua dekade minggu lalu di 0,99005 dolar, sementara sterling tergelincir ke level terendah satu bulan di 1,1686 dolar.

"Euro/dolar dapat tetap di bawah paritas minggu ini," kata Joseph Capurso, kepala ekonomi internasional di CBA, dikutip dari Reuters.

"Kekhawatiran keamanan energi akan tetap menjadi yang utama minggu ini karena Gazprom akan menutup pipa utama untuk mengirimkan gas ke Eropa Barat selama tiga hari dari 31 Agustus hingga 2 September," tambahnya. "Ada kekhawatiran pasokan gas tidak dapat dihidupkan kembali setelah penutupan."

Kekhawatiran itu menyebabkan gas alam berjangka di Eropa melonjak 38 persen minggu lalu, lebih lanjut menambah inflasi kian panas.

Kenaikan dolar dan imbal hasil telah menjadi hambatan bagi emas, yang melayang di 1.735 dolar AS per ounce.

Harga minyak sedikit berubah pada awal perdagangan, dan umumnya didukung oleh spekulasi OPEC+ dapat memangkas produksi pada pertemuan pada 5 September. Brent turun 9 sen menjadi 100,90 dolar AS per barel, sementara minyak mentah AS menguat 6 sen menjadi 93,12 dolar AS per barel.

Baca juga: Wall Street jatuh di atas 3 persen, Indeks Dow Jones anjlok 1.008 poin
Baca juga: Saham Inggris finis di zona merah, Indeks FTSE 100 jatuh 0,70 persen
Baca juga: Pasar saham Asia naik di tengah kehati-hatian jelang pidato Powell