Jakarta (ANTARA) - Tulisan ini sebagai bagian dari arbituari saya pada sosok Profesor David Beetham, seorang teoritikus sosial Universitas Leeds yang pada tanggal 5 Juli 2022 menginggalkan kita semua. Beetham banyak melahirkan teori dan konsep popular keilmuan sosial politik, mulai dari audit demokrasi sampai dengan hak asasi manusia.

Banyak sekali pemikiran Beetham yang sangat relevan dengan kondisi sosial politik Indonesia hari ini, setidaknya dalam konteks melihat bagaimana progres transisi demokrasi di Indonesia setelah lebih dari 20 tahun reformasi politik berlangsung.

Jika kita memakai konsep Beetham mengenai audit demokrasi, maka terdapat beberapa aspek yang menjadi hal utama dan dapat kita pakai bagi melihat sejauh mana progres demokrasi di Indonesia. Beetham et al. (2008) dalam buku "Assessing the Quality of Democracy" menjelaskan terdapat empat framework yang dapat dinilai terkait kualitas demokrasi sebuah negara: Citizenship, law and rights, Representative and accountable government, Civil society and popular participation dan Democracy beyond the state.

Saya coba fokus pada aspek kedua, Keterwakilan dan Pemerintahan yang Akuntabel, beberapa indikator, menurut Beetham yang semestinya menjadi fokus pembangunan demokrasi sebuah negara, Saya mencoba fokus saja pada aspek Peran Demokratik Partai Politik.


Soal Koalisi

Melihat dinamika politik tanah air akhir ini sungguh menarik, terutama bagi para akademisi dan peneliti. Betapa tidak? Dalam kurun beberapa bulan terakhir beragam “koalisi informal” mulai diwacanakan, dimulai dari pertemuan Partai Demokrat, PKS dan Partai Nasdem, dilanjutkan “koalisi” Indonesia bersatu ala Partai Golkar, PPP dan PAN, sampai dengan political movement antara Ketum Gerindra dan PKB.

Pertanyaannya kemudian, apakah wacana “koalisi informal” ini pasti 100 persen akan terwujud? Saya sering berseloroh dengan mahasiswa dalam ruang kelas, dalam politik kepastian itu adalah ketidakpastian. Politik akan lebih dilihat pada hasil, bukan kegiatan awal dan proses. Karena itu, jangan heran jika nanti komunikasi politik yang dilakukan banyak partai tersebut bubar di tengah jalan, disebabkan oleh banyak alasan dan logika bargaining yang tidak “pas” antara satu partai dengan partai lain, atau yang kita kira pasangan capres dan cawapres yang tidak mungkin sekarang, akan mungkin pada waktunya. Itulah logika politik yang tanpa berbasis ideologi.

Dan kenapa hal tersebut bisa dan lumrah terjadi dalam konteks politik tanah air? Jawabannya adalah, begitu cairnya ideologi partai dan pragmatisme elit. Kedua alasan tersebut menjadi pencetus hal tersebut kerap terjadi dan terus berulang.

Secara akademik dan tentu juga kita semua sudah membaca banyak kajian soal, paternalistik, pragamatisme elit dan absence of ideology parpol di Indonesia. Banyak riset yang dilakukan terkait hal ini, yang terbaru misalkan riset dilakukan oleh Hendrawan et al. (2021) atau Hicken et al. (2022).

Rumah besar demokrasi kita adalah patronase. Hal ini yang menyebabkan beberapa kondisi tersebut di atas terjadi. Majalah terkenal Inggris, the Economist (2020) misalkan, menggambarkan Demokrasi Indonesia masuk dalam kategori flawed atau demokrasi yang lemah atau tidak sempurna. Salah satu indikasi yang nyata adalah pragmatisme elit partai dalam membentuk sebuah koalisi atau kerja sama politik atau apapun namanya, serta tentu alasan-alasan taktis dan pragmatis di balik koalisi atau kerja sama politik tersebut.

Sebagai peneliti saya mencoba memberikan beberapa catatan bagi partai politik, terutama menyikapi pola koalisi atau kerja sama politik yang dibangun oleh elit parpol saat ini. Dalam pandangan saya terdapat beberapa pola koalisi atau kerja sama politik.

Pertama, koalisi atau kerja sama politik yang ideal tentunya adalah koalisi yang berbasis pada ideologi dan platform serta visi-partai yang sama. Misalkan, PAN, PKB dan PKS membentuk koalisi partai berbasis Islam-Nasionalis atau PDIP dengan Gerindra, yang sama-sama nasionalis. Pola koalisi seperti ini merujuk berbagai contoh negara demokrasi mapan akan sangat efektif dalam menjalankan roda pemerintahan sebab berbasis pada akar ideologis yang sama, dan masing-masing partai hanya perlu beradaptasi dan bernegosiasi dalam tataran teknis program kerja pemerintahan yang akan mereka kendalikan.

Kedua, koalisi atau kerja sama politik yang berbasis pada kepentingan mengatasi masalah atau problem solving based coalition. Artinya, masing-masing partai politik yang berbasis ideologi dan visi yang sama bersepakat membentuk koalisi atau kerja sama politik berbasis pada masalah kenegaraan yang akan mereka hadapi dalam masa empat atau lima tahun ke depan. Misalnya, sebuah negara mengalami krisis ekonomi, koalisi atau kerja sama politik yang dibentuk berbasis pada kesepakatan soal kebijakan bersama parpol yang akan diambil bagi mengatasi masalah krisis ekonomi negara tersebut.

Ketiga, koalisi berbasis pada “agenda bersama” atau common agenda, mungkin saja terbentuk sebuah koalisi atau kerja sama politik yang berbeda ideologis dan visi, apalagi jika ambang batas kekuatan parlemen tidak sampai 50 persen +1, mesti menjadi catatan model koalisi atau kerja sama politik yang ketiga ini mesti berbasis pada kepentingan publik dan bagi menjaga kepercayaan publik (public trust). “Agenda bersama” ini mesti diumumkan pada publik dan publik diberikan akses bagi melakukan kontrol terhadap “agenda bersama” tersebut. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka publik akan tetap menganggap koalisi tersebut hanya bagi-bagi kuasa elit.

Koalisi atau kerja sama politik yang tidak berbasis pada ideologi dan visi partai yang sama akan sangat rentan terbentuk oleh alasan-alasan yang sifatnya pragmatis dan public awareness ini menjadi kata kunci bagi masyarakat melakukan kontrol.

Akhirnya, kita menunggu pola mana yang akan dipilih oleh elit politik dalam menggagas koalisi mereka menuju tahun 2024. Siap tahu?

*) Arizka Warganegara adalah Dosen Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, Pendiri Lingkar Studi Cendekia, Inggris Raya.