Semarang (ANTARA) - Indonesia pada triwulan II-2022 berhasil membukukan pertumbuhan ekonomi 5,44 persen (year on year) di tengah situasi ekonomi dan politik global yang masih tidak menentu.

Capaian tersebut lebih tinggi dibanding triwulan I-2022 sebesar 5,01 persen. Pertumbuhan itu menandakan proses pemulihan ekonomi sedang berjalan setelah sempat meredup akibat didera COVID-19.

Banyak negara terengah-engah meraih pertumbuhan positif, bahkan China yang semula diperkirakan tumbuh di atas 4 persen, hanya membukukan 0,4 persen.

Adapun inflasi Indonesia pada tahun kalender, Januari--Juli 2022, tercatat 3,85 persen, sedangkan inflasi tahun ke tahun, Juli 2022 terhadap Juli 2021, tercatat 4,94 persen. Melandainya kasus aktif COVID-19 mendorong aktivitas dan mobilitas masyarakat menggeliat lebih kencang yang diikuti dengan meningkatnya permintaan barang dan jasa.

Kendati terjadi kenaikan harga sembako, sejauh ini masih terkendali. Harga minyak goreng yang sebelumnya melonjak, perlahan bisa ditekan, meski tidak bisa kembali seperti harga sebelumnya. Paling tidak masyarakat luas bisa menjangkau minyak curah berkualitas baik, dengan harga Rp14.000/liter. Lebih dari itu, sudah tidak ada lagi antrean dan kelangkaan minyak goreng.

Inflasi memang naik, namun masih di bawah angka pertumbuhan ekonomi. Secara umum, harga sembako, terutama beras dan gula, relatif terkendali. Memang ada kenaikan harga pangan, seperti telur dan cabai, namun tidak sampai terjadi kelangkaan.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia berhasil mengendalikan harga di tengah menggeliatnya konsumsi domestik seiring dengan pelonggaran aktivitas dan mobilitas masyarakat belakangan ini.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2022 tercatat 5,51 persen (yoy). Sektor ini memberikan kontribusi 2,92 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode April--Juni 2022.

Data BPS tersebut menandakan konsumsi domestik memberi andil dominan. Tanpa dukungan daya beli yang menguat, maka tidak ada pertumbuhan ekonomi setinggi itu.

Namun, untuk mengendalikan harga-harga dan mempertahankan daya beli masyarakat, ada pengorbanan yang harus dibayar oleh pemerintah. Pemerintah bersama DPR sepakat tetap akan memberi subsidi energi di tengah lonjakan harga minyak dunia.

Subsidi energi pada APBN 2022 yang semula dipatok Rp152,5 triliun -- demi menjaga daya beli rakyat dan mengendalikan inflasi -- pemerintah menambah anggarannya menjadi Rp502,4 triliun, terdiri atas subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensasi energi Rp293,5 triliun.

Melebarnya subsidi ini, antara lain, karena pemerintah tetap memberlakukan tarif listrik lama untuk pelanggan 3.000 kwh ke bawah. Harga BBM Pertalite dan Biosolar juga tidak dinaikkan. Begitu pula elpiji 3 kilogram, harganya juga sama.

Kebijakan mempertahankan tarif atau harga lama pada komoditas energi bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat yang baru saja bangkit kembali setelah didera COVID-19.

Jika pemerintah menyerahkan harga energi domestik sesuai dengan harga pasar global, bisa dipastikan akan memicu gejolak sosial politik. Selain menurunkan daya beli, selama ini kenaikan harga BBM selalu menjadi penyulut protes, karena kenaikan harga BBM bakal memicu lonjakan harga barang dan jasa.

Bank Indonesia, demi menjaga stabilitas ekonomi makro, juga tetap menjaga suku bunga patokan relatif rendah, 3,75 persen atau naik 25 basis poin. Dengan suku bunga rendah ini diharapkan mendorong bank lebih banyak menyalurkan kredit. Dengan beban bunga rendah diharapkan merangsang investor berinvestasi atau melakukan perluasan investasi, sehingga membuka banyak lapangan kerja.

Sejauh ini pemerintah telah mengambil kebijakan berani dengan mengalokasikan belanja subsidi hingga Rp502,4 triliun pada 2022. Namun besaran subsidi tersebut sepadan dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang diraih pada semester I 2022. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pilihan tersebut efektif untuk menjaga momentum kebangkitan ekonomi setelah didera pandemi selama 2,5 tahun.


Stabilitas sosial politik

Opsi tersebut juga memberi jaminan lebih besar terhadap stabilitas sosial politik menjelang tahun politik pada 2023--2024. Bila bertahan tidak menaikkan harga BBM, gas elpiji, dan tarif listrik, maka pemerintah harus menyiapkan tambahan subsidi energi pada 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut anggaran untuk subsidi energi berpotensi melebar Rp198 triliun jika harga BBM bersubsidi, yakni Pertalite dan Biosolar, masih bertahan dengan harga pada hari ini.

Kalau pemerintah tidak menaikkan harga BBM, tidak melakukan apa-apa, dan tidak melakukan pembatasan, maka subsidi Rp502,4 triliun tidak akan cukup, bisa bertambah menjadi Rp698 triliun hingga akhir tahun 2022.

Besaran subsidi energi sebesar itu tentu membebani APBN karena berarti lebih dari 20 persen dari APBN 2022 (Rp3.100 triliun) hanya digunakan untuk belanja subsidi energi. Tambahan subsidi itu akan mengurangi pos-pos belanja penting lainnya.

Untuk menekan belanja subsidi tersebut, belakangan ini mencuat wacana menaikkan harga BBM jenis Pertalite dan Biosolar. Namun bisa dipastikan penaikan harga BBM bersubsidi tersebut bakal mendorong melonjaknya harga barang dan jasa. Walhasil akan mengerek inflasi dan memukul daya beli masyarakat menengah-bawah.

Namun, sepertinya pemerintah memang tidak memiliki banyak pilihan untuk menekan membengkaknya belanja subsidi BBM. Penaikan harga BBM sebenarnya merupakan kebijakan yang lumrah ditempuh banyak negara. Indonesia sejak dulu juga kerap menerapkan beleid tersebut.

Sepanjang kenaikannya terukur dan dilakukan pada momentum yang tepat, maka pemerintah bakal mampu mengelola dampaknya. Menaikkan harga BBM pada tahun 2023 dan 2004 merupakan pilihan berisiko mengingat pada saat itu merupakan tahun politik.

Yang perlu dipersiapkan, bila akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, adalah bagaimana menjaga hajat hidup sekitar 40 persen penduduk Indonesia agar tidak terlalu terdampak atas kebijakan tersebut.

Pertama, tetap memberikan subsidi harga BBM bagi mereka dengan mendistribusikan semacam kupon pembelian BBM dengan harga khusus. Misalnya, angkutan umum, perahu motor nelayan, dan truk angkutan sembako tetap bisa memperoleh BBM harga subsidi. Harga subsidi ini tidak berlaku untuk truk pengangkut hasil pertambangan dan barang kebutuhan sekunder dan tersier. Adapun mobil pribadi hanya bisa mengakses BBM nonsubsidi.

Jadi, subsidi tersebut diberikan kepada perseorangan, bukan melekat pada komoditas yang selama ini menjadikan alokasi dan sasarannya susah dikontrol.

Selanjutnya, menyiapkan skema perlindungan khusus bagi masyarakat bawah yang bakal terdampak atas penaikan harga BBM. Pemerintah bisa memberikan semacam bantuan tunai kepada kelompok masyarakat bawah seperti pada awal pandemi COVID-19. Bantuan ini bersifat temporer. Setelah mereka bisa keluar dari situasi sulit, maka dihentikan.

Penaikan harga BBM pasti akan menyulut inflasi dan mendorong kenaikan harga barang dan jasa, namun dengan skema tersebut setidaknya daya beli mereka terjaga dan masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif. Dengan kebijakan tersebut kekhawatiran bahwa penaikan harga BBM bakal memicu inflasi hingga lebih dari 7 persen tidak akan terjadi. Di sisi sama, Indonesia tetap bisa membukukan pertumbuhan ekonomi yang positif.

Situasi dunia yang masih diliputi ketidakpastian ekonomi, politik, dan iklim memang mengharuskan setiap negara mengambil kebijakan yang tidak selalu populis. Pil pahit tersebut harus ditelan demi memelihara kesehatan ekonomi dan politik sebuah negara pada masa mendatang.

Apa pun, pertumbuhan ekonomi sebuah negara tetap penting. Dari kue bernama pertumbuhan itulah negara bisa membagikan kemakmuran kepada rakyatnya.