Digitalisasi layanan perbankan harus dibarengi akselerasi literasi
Oleh Aris Wasita
24 Agustus 2022 12:29 WIB
Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI Rayendra Minarsa Goenawan memberikan penjelasan mengenai digitalisasi perbankan melalui daring. ANTARA/Aris Wasita
Solo (ANTARA) - Pandemi telah mempercepat transformasi digital di sektor perbankan. Perbankan harus menempatkan transformasi digital sebagai prioritas, serta sebagai salah satu strategi dalam upaya peningkatan daya saing.
Demikian juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong percepatan transformasi digital sektor perbankan dengan penguatan literasi agar kemudahan layanan yang ditawarkan lembaga perbankan tersebut tidak merugikan masyarakat.
Pandemi COVID-19 telah memacu layanan digital. Berbagai aktivitas dilakukan secara digital. Masyarakat semakin banyak berinteraksi dengan mesin.
Salah satunya adalah dalam layanan jasa perbankan. Pandemi COVID-19 mengajarkan manusia untuk lebih akrab dengan digitalisasi perbankan.
Layanan digital perbankan menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah kegiatan perbankan dengan menggunakan sarana elektronik atau digital milik bank yang
memungkinkan transkasi keuangan dilakukan secara mandiri oleh nasabah.
Beberapa layanan perbankan yang berkembang saat ini dan berbasis digital di antaranya adalah phone banking, SMS banking, mobile banking dan internet banking.
Phone banking adalah layanan yang memungkinkan nasabah untuk mendapatkan informasi dan transaksi perbankan dengan cara menghubungi nomor telepon tertentu dari bank. Sedangkan SMS banking adalah layanan transaksi perbankan yang dapat dilakukan nasabah melalui telepon seluler (ponsel) dengan format Short Message Service (SMS).
Sementara itu, mobile banking adalah sebuah layanan yang disediakan pihak bank untuk melakukan berbagai transaksi perbankan melalui berbagi fitur atau menu pada aplikasi perbankan yang diunduh dan diinstall melalui telepon pintar. Sedangkan internet banking merupakan salah satu layanan jasa perbankan yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi dan melakukan transaksi perbankan dengan memanfaatkan jaringan internet melalui website milik bank.
Di satu sisi, layanan yang diberikan oleh perbankan membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai urusan tanpa harus keluar dan cukup mengandalkan gawai masing-masing. Namun, di sisi lain, layanan digital perbankan ini mengkhawatirkan bagi mereka yang masih belum paham betul terhadap aturan bank.
Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI, Rayendra Minarsa Goenawan, mengatakan saat ini kejahatan dengan memanfaatkan digital perbankan yang banyak terjadi di antaranya model skimming dan social engineering.
Skimming terjadi dengan cara melakukan pencurian data nasabah, sementara social engineering memanfaatkan kondisi psikologi nasabah.
Untuk kasus kedua tersebut saat ini masih marak terjadi di masyarakat. Sebagai contoh ada orang asing yang menelepon dan mengabarkan kepada nasabah bahwa ada anggota keluarga yang mengalami kecelakaan atau sakit sehingga harus segera dikirimi sejumlah uang. Ada pula kasus mama minta pulsa.
Kasus-kasus seperti itu merupakan bentuk social engineering, yakni bagaimana caranya memanipulasi kesadaran orang. "Di situ ada aktor, targetnya siapa yang mudah untuk diganggu. Mereka menjalin komunikasi dulu, baru eksploitasi," kata Rayendra Minarsa Goenawan.
Untuk penanganan kasus kejahatan tersebut, pihak bank biasanya sudah melakukan langkah-langkah antisipasi, salah satunya dengan menyediakan skema pengaduan nasabah. Tujuannya, untuk menjaga kepercayaan nasabah mereka.
Selain itu, yang dilakukan oleh perbankan adalah melakukan deteksi jika terjadi anomali transaksi atau ketidakbiasaan pada transaksi nasabah. Akan ada parameter tertentu yang mengindikasikan kejadian transaksional asing. Oleh karena itu, bank meminta agar nasabah lebih aktif untuk memberikan informasi terkini agar kejadian-kejadian seperti itu bisa diantisipasi sedini mungkin.
Edukasi OJK
Untuk mengantisipasi kejahatan dengan memanfaatkan digitalisasi perbankan terjadi di kalangan masyarakat, lembaga pemerintah yang mengawasi perbankan, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan edukasi kepada masyarakat.
Di wilayah Surakarta misalnya, edukasi banyak dilakukan di daerah pinggiran dengan menyasar kelompok masyarakat yang dirasa masih rendah literasi terhadap perbankan. Kepala OJK Surakarta Eko Yunianto mengatakan di kawasan Solo Raya, pada setiap kegiatan edukasi OJK bekerja sama dengan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD).
Salah satu sasaran edukasi yakni pedagang pasar di kawasan pinggiran, di antaranya Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Klaten. Edukasi terkait perbankan juga menyasar ke berbagai komunitas, salah satunya pelajar.
Diharapkan langkah tersebut dapat meminimalisasi kerugian nasabah terkait dengan digitalisasi perbankan.
Meski demikian, tidak setiap kejadian kejahatan dengan memanfaatkan digitalisasi perbankan selalu nasabah yang menjadi korban. Menurut dia, yang juga banyak terjadi adalah debitur tidak mau memenuhi kewajibannya untuk mengangsur pinjaman sesuai dengan akad.
Dengan alasan mengikuti Fatwa MUI yang mengharamkan riba, beberapa debitur secara sepihak memutuskan untuk membayarkan utang pokok tanpa mau membayarkan bunga kreditnya. Selain itu, keterbatasan kemampuan akibat pandemi COVID-19 membuat debitur tidak mampu membayarkan besaran angsuran sesuai akad. Misalnya, punya utang ratusan juta rupiah tapi hanya sanggup membayar angsuran Rp1 juta.
Bahkan, dari 58 aduan mengenai perbankan yang masuk ke OJK dari awal tahun hingga saat ini, didominasi oleh nasabah yang mengadukan langkah penyitaan agunan oleh perbankan akibat debitur berstatus gagal bayar.
Kondisi tersebut akan menyulitkan perbankan mengingat pihak bank juga harus membayar bunga tabungan deposito, gaji pegawai, dan biaya operasional.
Sebagai solusi yang ditawarkan oleh OJK, debitur dan perbankan diminta untuk kembali ke akad. Termasuk sanksi sita agunan jika debitur tidak sanggup membayarkan kredit sesuai kesepakatan awal.
Edukasi dan Perlindungan
Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas VM Tarihoran, menyampaikan bahwa edukasi dan perlindungan konsumen ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di hulu, OJK memiliki fungsi edukasi untuk meningkatkan literasi di kalangan masyarakat.
Apalagi selama ini masih banyak peristiwa yang dilaporkan dan diadukan. Namun sebagian besar karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai keuangan, terlebih di era digital seperti saat ini.
Mengenai digitalisasi, pekerjaan rumah yang dibebankan kepada OJK masih cukup besar. Kondisi ini terjadi karena masih minimnya literasi keuangan di kalangan
masyarakat. Dari survei yang dilakukan pada tahun 2017 tercatat literasi keuangan di kalangan masyarakat baru mencapai 38 persen.
Terjadi gap yang cukup tinggi dengan tingkat inklusi keuangan yang sudah mencapai 76,9 persen. Khusus angka inklusi di dalam negeri meski sudah cukup tinggi namun masih kalah jika dibandingkan dengan capaian sejumlah negara tetangga yang rata-rata sudah di atas 80 persen.
Bahkan, tingkat inklusi di Singapura sudah di atas 90 persen. Khusus untuk UMKM, OJK mencatat masih ada 70 persen pelaku usaha di Indonesia yang belum memiliki akses ke layanan keuangan.
Di satu sisi, terjadi perubahan cepat di dunia online, namun di sisi lain Indonesia dihadapkan pada perilaku konsumen yang ingin semuanya serba cepat, mudah, dan nyaman. "Kalau tidak dikejar dengan literasi akan membuat banyak masalah," katanya.
Jadi, selain literasi digital, perlu ditingkatkan pula literasi keuangan.
Dalam literasi keuangan dikenal ada empat kelompok. Pertama, well literate berarti seseorang paham benar tentang pengetahuan produk dan jasa keuangan. Kedua, sufficient literate yakni tingkat literasi keuangan dengan pengetahuan yang cukup.
Ketiga, less literate yang hanya mengetahui tentang lembaga jasa keuangan dan produknya saja. Keempat, not literate yaitu mengetahui keberadaan lembaga keuangan, namun sama sekali tidak mengetahui tentang bagaimana lembaga tersebut berjalan, produk, serta jasa keuangan yang ada.
Proses literasi tentu tidak mudah dilakukan jika dilakukan sendiri, tapi perlu sinergi dari berbagai pihak.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, dalam Grand Lauching 4 Pilar Kurikulum dan Modul Literasi Digital di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu silam menggemukakan bahwa literasi merupakan pekerjaan kolaborasi, bersama-sama berbagai pihak.
Pada kesempatan itu Menkominfo meluncurkan empat modul literasi digital, yaitu Budaya Bermedia Digital, Aman Bermedia Digital, Etis Bermedia Digita dan Cakap
Bermedia Digital.
Diharapkan dengan adanya sinergi dari berbagai pihak, literasi dan inklusi keuangan di dalam negeri dapat terus meningkat sehingga kerugian nasabah maupun pihak penyelenggara jasa keuangan dapat diminimalisasi.
Tahun ini OJK akan kembali menyelenggarakan survei untuk memastikan capaian literasi dan inklusi keuangan di kalangan masyarakat. Digitalisai layanan perbankan yang dibarengi dengan akselerasi literasi, diharapkan akan dapat memberi manfaat maksimal kepada masyarakat maupun dunia usaha secara lebih luas lagi.
Demikian juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong percepatan transformasi digital sektor perbankan dengan penguatan literasi agar kemudahan layanan yang ditawarkan lembaga perbankan tersebut tidak merugikan masyarakat.
Pandemi COVID-19 telah memacu layanan digital. Berbagai aktivitas dilakukan secara digital. Masyarakat semakin banyak berinteraksi dengan mesin.
Salah satunya adalah dalam layanan jasa perbankan. Pandemi COVID-19 mengajarkan manusia untuk lebih akrab dengan digitalisasi perbankan.
Layanan digital perbankan menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah kegiatan perbankan dengan menggunakan sarana elektronik atau digital milik bank yang
memungkinkan transkasi keuangan dilakukan secara mandiri oleh nasabah.
Beberapa layanan perbankan yang berkembang saat ini dan berbasis digital di antaranya adalah phone banking, SMS banking, mobile banking dan internet banking.
Phone banking adalah layanan yang memungkinkan nasabah untuk mendapatkan informasi dan transaksi perbankan dengan cara menghubungi nomor telepon tertentu dari bank. Sedangkan SMS banking adalah layanan transaksi perbankan yang dapat dilakukan nasabah melalui telepon seluler (ponsel) dengan format Short Message Service (SMS).
Sementara itu, mobile banking adalah sebuah layanan yang disediakan pihak bank untuk melakukan berbagai transaksi perbankan melalui berbagi fitur atau menu pada aplikasi perbankan yang diunduh dan diinstall melalui telepon pintar. Sedangkan internet banking merupakan salah satu layanan jasa perbankan yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi dan melakukan transaksi perbankan dengan memanfaatkan jaringan internet melalui website milik bank.
Di satu sisi, layanan yang diberikan oleh perbankan membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai urusan tanpa harus keluar dan cukup mengandalkan gawai masing-masing. Namun, di sisi lain, layanan digital perbankan ini mengkhawatirkan bagi mereka yang masih belum paham betul terhadap aturan bank.
Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI, Rayendra Minarsa Goenawan, mengatakan saat ini kejahatan dengan memanfaatkan digital perbankan yang banyak terjadi di antaranya model skimming dan social engineering.
Skimming terjadi dengan cara melakukan pencurian data nasabah, sementara social engineering memanfaatkan kondisi psikologi nasabah.
Untuk kasus kedua tersebut saat ini masih marak terjadi di masyarakat. Sebagai contoh ada orang asing yang menelepon dan mengabarkan kepada nasabah bahwa ada anggota keluarga yang mengalami kecelakaan atau sakit sehingga harus segera dikirimi sejumlah uang. Ada pula kasus mama minta pulsa.
Kasus-kasus seperti itu merupakan bentuk social engineering, yakni bagaimana caranya memanipulasi kesadaran orang. "Di situ ada aktor, targetnya siapa yang mudah untuk diganggu. Mereka menjalin komunikasi dulu, baru eksploitasi," kata Rayendra Minarsa Goenawan.
Untuk penanganan kasus kejahatan tersebut, pihak bank biasanya sudah melakukan langkah-langkah antisipasi, salah satunya dengan menyediakan skema pengaduan nasabah. Tujuannya, untuk menjaga kepercayaan nasabah mereka.
Selain itu, yang dilakukan oleh perbankan adalah melakukan deteksi jika terjadi anomali transaksi atau ketidakbiasaan pada transaksi nasabah. Akan ada parameter tertentu yang mengindikasikan kejadian transaksional asing. Oleh karena itu, bank meminta agar nasabah lebih aktif untuk memberikan informasi terkini agar kejadian-kejadian seperti itu bisa diantisipasi sedini mungkin.
Edukasi OJK
Untuk mengantisipasi kejahatan dengan memanfaatkan digitalisasi perbankan terjadi di kalangan masyarakat, lembaga pemerintah yang mengawasi perbankan, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan edukasi kepada masyarakat.
Di wilayah Surakarta misalnya, edukasi banyak dilakukan di daerah pinggiran dengan menyasar kelompok masyarakat yang dirasa masih rendah literasi terhadap perbankan. Kepala OJK Surakarta Eko Yunianto mengatakan di kawasan Solo Raya, pada setiap kegiatan edukasi OJK bekerja sama dengan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD).
Salah satu sasaran edukasi yakni pedagang pasar di kawasan pinggiran, di antaranya Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Klaten. Edukasi terkait perbankan juga menyasar ke berbagai komunitas, salah satunya pelajar.
Diharapkan langkah tersebut dapat meminimalisasi kerugian nasabah terkait dengan digitalisasi perbankan.
Meski demikian, tidak setiap kejadian kejahatan dengan memanfaatkan digitalisasi perbankan selalu nasabah yang menjadi korban. Menurut dia, yang juga banyak terjadi adalah debitur tidak mau memenuhi kewajibannya untuk mengangsur pinjaman sesuai dengan akad.
Dengan alasan mengikuti Fatwa MUI yang mengharamkan riba, beberapa debitur secara sepihak memutuskan untuk membayarkan utang pokok tanpa mau membayarkan bunga kreditnya. Selain itu, keterbatasan kemampuan akibat pandemi COVID-19 membuat debitur tidak mampu membayarkan besaran angsuran sesuai akad. Misalnya, punya utang ratusan juta rupiah tapi hanya sanggup membayar angsuran Rp1 juta.
Bahkan, dari 58 aduan mengenai perbankan yang masuk ke OJK dari awal tahun hingga saat ini, didominasi oleh nasabah yang mengadukan langkah penyitaan agunan oleh perbankan akibat debitur berstatus gagal bayar.
Kondisi tersebut akan menyulitkan perbankan mengingat pihak bank juga harus membayar bunga tabungan deposito, gaji pegawai, dan biaya operasional.
Sebagai solusi yang ditawarkan oleh OJK, debitur dan perbankan diminta untuk kembali ke akad. Termasuk sanksi sita agunan jika debitur tidak sanggup membayarkan kredit sesuai kesepakatan awal.
Edukasi dan Perlindungan
Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas VM Tarihoran, menyampaikan bahwa edukasi dan perlindungan konsumen ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di hulu, OJK memiliki fungsi edukasi untuk meningkatkan literasi di kalangan masyarakat.
Apalagi selama ini masih banyak peristiwa yang dilaporkan dan diadukan. Namun sebagian besar karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai keuangan, terlebih di era digital seperti saat ini.
Mengenai digitalisasi, pekerjaan rumah yang dibebankan kepada OJK masih cukup besar. Kondisi ini terjadi karena masih minimnya literasi keuangan di kalangan
masyarakat. Dari survei yang dilakukan pada tahun 2017 tercatat literasi keuangan di kalangan masyarakat baru mencapai 38 persen.
Terjadi gap yang cukup tinggi dengan tingkat inklusi keuangan yang sudah mencapai 76,9 persen. Khusus angka inklusi di dalam negeri meski sudah cukup tinggi namun masih kalah jika dibandingkan dengan capaian sejumlah negara tetangga yang rata-rata sudah di atas 80 persen.
Bahkan, tingkat inklusi di Singapura sudah di atas 90 persen. Khusus untuk UMKM, OJK mencatat masih ada 70 persen pelaku usaha di Indonesia yang belum memiliki akses ke layanan keuangan.
Di satu sisi, terjadi perubahan cepat di dunia online, namun di sisi lain Indonesia dihadapkan pada perilaku konsumen yang ingin semuanya serba cepat, mudah, dan nyaman. "Kalau tidak dikejar dengan literasi akan membuat banyak masalah," katanya.
Jadi, selain literasi digital, perlu ditingkatkan pula literasi keuangan.
Dalam literasi keuangan dikenal ada empat kelompok. Pertama, well literate berarti seseorang paham benar tentang pengetahuan produk dan jasa keuangan. Kedua, sufficient literate yakni tingkat literasi keuangan dengan pengetahuan yang cukup.
Ketiga, less literate yang hanya mengetahui tentang lembaga jasa keuangan dan produknya saja. Keempat, not literate yaitu mengetahui keberadaan lembaga keuangan, namun sama sekali tidak mengetahui tentang bagaimana lembaga tersebut berjalan, produk, serta jasa keuangan yang ada.
Proses literasi tentu tidak mudah dilakukan jika dilakukan sendiri, tapi perlu sinergi dari berbagai pihak.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, dalam Grand Lauching 4 Pilar Kurikulum dan Modul Literasi Digital di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu silam menggemukakan bahwa literasi merupakan pekerjaan kolaborasi, bersama-sama berbagai pihak.
Pada kesempatan itu Menkominfo meluncurkan empat modul literasi digital, yaitu Budaya Bermedia Digital, Aman Bermedia Digital, Etis Bermedia Digita dan Cakap
Bermedia Digital.
Diharapkan dengan adanya sinergi dari berbagai pihak, literasi dan inklusi keuangan di dalam negeri dapat terus meningkat sehingga kerugian nasabah maupun pihak penyelenggara jasa keuangan dapat diminimalisasi.
Tahun ini OJK akan kembali menyelenggarakan survei untuk memastikan capaian literasi dan inklusi keuangan di kalangan masyarakat. Digitalisai layanan perbankan yang dibarengi dengan akselerasi literasi, diharapkan akan dapat memberi manfaat maksimal kepada masyarakat maupun dunia usaha secara lebih luas lagi.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022
Tags: