Jakarta (ANTARA) - Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji menilai perdagangan karbon atau carbon trading apabila nantinya berhasil diimplementasikan akan menjadi nilai positif bagi emiten-emiten berbasis tata kelola, sosial, dan lingkungan (environmental, social, governance/ESG).

"Menurut saya ini positif sekali bagi emiten-emiten yang menjalankan ESG. Ini musti didukung oleh seluruh stakeholders, karena dengan penerapan ESG tersebut secara berkesinambungan, akan membuat emiten tersebut dicermati oleh para pelaku investor global," ujar Nafan saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Penurunan emisi karbon masih menjadi salah satu isu prioritas dalam forum kerja sama multilateral G20 tahun ini meskipun pada 2020 lalu emisi karbon di hampir seluruh negara anggota G20 tercatat sudah mulai menurun.

Perdagangan karbon dan pajak karbon menjadi kebijakan terbaru pemerintah dalam menekan emisi karbon sekaligus sebagai alat untuk menunjukkan keseriusan Indonesia untuk beralih ke ekosistem yang lebih ramah lingkungan.

Mengutip laman ICDX Group, perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Kredit karbon adalah representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.

Pemerintah setempat biasanya akan mengisukan kredit tersebut hingga batasan tertentu. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit tersebut di pasar karbon.

Namun jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahaan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Dengan demikian, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca secara signifikan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini masih mengkaji soal inisiatif pelaksanaan perdagangan karbon di bursa tanah air.

Organisasi Regulator Mandiri (SRO) yang terdiri dari BEI, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) telah menyatakan siap apabila nantinya ditunjuk untuk menyelenggarakan perdagangan karbon tersebut.

"Mudah-mudahan dengan adanya skema perdagangan karbon bisa difasilitasi oleh BEI, sehingga tentunya emiten-emiten yang menerapkan ESG sebagai bagian dari good governance akan terus dilihat oleh investor. Dan emiten-emiten yang mengarah ke ESG itu juga pasti akan didukung oleh peraturan dan kebijakan baik dari OJK maupun BEI," kata Nafan.

Potensi nilai perdagangan karbon di Indonesia sendiri relatif besar yaitu diperkirakan mencapai 565,9 miliar dolar AS atau Rp8.427,38 triliun (kurs Rp14.892 per dolar AS).

Baca juga: OJK dan BEI masih kaji soal perdagangan karbon di bursa
Baca juga: Kementerian ESDM susun aturan nilai ekonomi karbon pembangkit listrik
Baca juga: Penerapan pajak karbon demi transisi ekonomi yang lebih berkelanjutan