G20 Indonesia
Kemenkeu: Disrupsi pembangunan capai 5 persen akibat iklim pada 2030
22 Agustus 2022 15:20 WIB
Para pembicara dalam G20 BI Stronger Fest bertajuk Indonesia Menuju Keuangan Berkelanjutan secara hybrid di Jakarta, Senin (22/8/2022). ANTARA/Muhammad Heriyanto
Jakarta (ANTARA) - Presidency Chair Suistainable Finance Working Group (SFWG) Kementerian Keuangan Dian Lestari mengatakan disrupsi terhadap pembangunan Indonesia bisa mencapai 3 hingga 5 persen akibat bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim pada 2030.
Sebagai negara kepulauan, ia mengatakan Indonesia sangat rentan terhadap bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim karena hampir 60 persen penduduknya tinggal di daerah pesisir.
“Banjir rob yang disebabkan naiknya permukaan air laut, berbagai bencana hidro meteorologi dan bencana lainnya. Indonesia bisa dikatakan supermarket bencana yang disebabkan perubahan iklim,” ujar Dian dalam G20 BI Stronger Fest bertajuk Indonesia Menuju Keuangan Berkelanjutan secara hybrid di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan dampak bencana yang disebabkan perubahan iklim bisa lebih besar dibandingkan adanya pandemi COVID 19 yang masih terjadi saat ini. Menurutnya, Indonesia masuk 12 besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Kalau kita tidak mengatasi itu, kita sendiri akan menjadi korban, secara sosial maupun ekonomi,” ujar Dian.
Dengan itu, menurut dia, upaya pemerintah untuk mencapai target pembangunan ekonomi rendah karbon 2030 dan net zero emission 2060 harus didukung oleh berbagai pihak, salah satunya adanya investasi dari pihak swasta untuk mendukung berbagai pendanaan transisi energi yang sudah ada.
Ia menyebut untuk mencapai pembangunan ekonomi rendah karbon 2030 saja, Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.400 triliunan.
“Untuk bisa mengendalikan perubahan iklim, untuk mencapai target itu tidak murah, investasinya sangat mahal,” ujar Dian.
Dalam kesempatan sama, Sustainable Finance Program Lead WWF Indonesia Rizkiasari Yudawinata mengatakan Indonesia bisa melakukan efisiensi produksi dengan memperhatikan faktor alam, iklim dan lingkungan sosial dalam upaya meminimalisir terjadinya perubahan iklim.
Saat ini, menurut dia, sudah ada ketidakseimbangan dari sisi supply and demand Sumber Daya Alam.
“Dalam hal pencapaian untuk menuju kemakmuran, kita cenderung menggunakan cara-cara yang sifatnya boros,’ ujar Rizki.
Apabila Indonesia tidak melakukan perubahan dari sisi produksi dengan lebih memperhatikan alam, menurutnya, akan menyebabkan gas rumah kaca terus meningkat, sehingga terjadi perubahan iklim.
Lalu, perubahan iklim pada akhirnya mempengaruhi kondisi alam yang akhirnya berdampak pada keberlangsungan hidup manusia, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Berdasarkan data BMKG, suhu udara rata-rata pada Juni 2022 sebesar 26.73 C, atau menunjukkan anomali negatif sebesar -0.06 C. Anomali suhu udara ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-22 sepanjang periode data pengamatan sejak 1981.
Baca juga: BRIN: Hortikultura-perkebunan berpotensi besar atasi perubahan iklim
Baca juga: Kadin: Transisi energi perlu untuk hindari dampak perubahan iklim
Baca juga: Entomolog: Perubahan iklim secara tidak langsung pengaruhi zoonosis
Baca juga: KLHK: Beberapa negara tertarik kolaborasi untuk rehabilitasi mangrove
Sebagai negara kepulauan, ia mengatakan Indonesia sangat rentan terhadap bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim karena hampir 60 persen penduduknya tinggal di daerah pesisir.
“Banjir rob yang disebabkan naiknya permukaan air laut, berbagai bencana hidro meteorologi dan bencana lainnya. Indonesia bisa dikatakan supermarket bencana yang disebabkan perubahan iklim,” ujar Dian dalam G20 BI Stronger Fest bertajuk Indonesia Menuju Keuangan Berkelanjutan secara hybrid di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan dampak bencana yang disebabkan perubahan iklim bisa lebih besar dibandingkan adanya pandemi COVID 19 yang masih terjadi saat ini. Menurutnya, Indonesia masuk 12 besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Kalau kita tidak mengatasi itu, kita sendiri akan menjadi korban, secara sosial maupun ekonomi,” ujar Dian.
Dengan itu, menurut dia, upaya pemerintah untuk mencapai target pembangunan ekonomi rendah karbon 2030 dan net zero emission 2060 harus didukung oleh berbagai pihak, salah satunya adanya investasi dari pihak swasta untuk mendukung berbagai pendanaan transisi energi yang sudah ada.
Ia menyebut untuk mencapai pembangunan ekonomi rendah karbon 2030 saja, Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.400 triliunan.
“Untuk bisa mengendalikan perubahan iklim, untuk mencapai target itu tidak murah, investasinya sangat mahal,” ujar Dian.
Dalam kesempatan sama, Sustainable Finance Program Lead WWF Indonesia Rizkiasari Yudawinata mengatakan Indonesia bisa melakukan efisiensi produksi dengan memperhatikan faktor alam, iklim dan lingkungan sosial dalam upaya meminimalisir terjadinya perubahan iklim.
Saat ini, menurut dia, sudah ada ketidakseimbangan dari sisi supply and demand Sumber Daya Alam.
“Dalam hal pencapaian untuk menuju kemakmuran, kita cenderung menggunakan cara-cara yang sifatnya boros,’ ujar Rizki.
Apabila Indonesia tidak melakukan perubahan dari sisi produksi dengan lebih memperhatikan alam, menurutnya, akan menyebabkan gas rumah kaca terus meningkat, sehingga terjadi perubahan iklim.
Lalu, perubahan iklim pada akhirnya mempengaruhi kondisi alam yang akhirnya berdampak pada keberlangsungan hidup manusia, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Berdasarkan data BMKG, suhu udara rata-rata pada Juni 2022 sebesar 26.73 C, atau menunjukkan anomali negatif sebesar -0.06 C. Anomali suhu udara ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-22 sepanjang periode data pengamatan sejak 1981.
Baca juga: BRIN: Hortikultura-perkebunan berpotensi besar atasi perubahan iklim
Baca juga: Kadin: Transisi energi perlu untuk hindari dampak perubahan iklim
Baca juga: Entomolog: Perubahan iklim secara tidak langsung pengaruhi zoonosis
Baca juga: KLHK: Beberapa negara tertarik kolaborasi untuk rehabilitasi mangrove
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2022
Tags: