BRIN soroti beberapa isu ketersediaan bahan baku obat bahan alam
19 Agustus 2022 15:32 WIB
Tangkapan layar Perekayasa Ahli Madya di Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Chaidir Amin dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat (19/8/2022) (FOTO ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) - Periset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Chaidir Amin mengatakan terdapat beberapa isu yang harus ditangani terkait ketersediaan bahan baku obat bahan alam bermutu termasuk sumber tanaman masih berasal dari alam liar.
"Ketersediaan bahan baku obat itu sangat penting dalam jumlah dan mutu yang baik agar bisa dijamin secara berkelanjutan," kata Perekayasa Ahli Madya di Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Chaidir dalam diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa sumber tanaman obat saat ini 85 persen masih diperoleh dari alam yang berasal dari tanaman liar. Hal itu berdampak pada mutu bahan yang beragam, potensi adulterasi atau cemaran, kepunahan tanaman dan pasokan bahan baku yang tidak berkelanjutan.
Dia juga menyoroti bahwa pelaku produsen tanaman obat atau simplisia masih didominasi oleh petani pengumpul, bukan petani yang melakukan penanaman.
Selain itu, sebagian besar dari produsen tanaman obat itu masuk dalam kategori usaha kecil menengah dengan teknik memproses yang belum memenuhi standar.
Terdapat juga isu bahwa rantai pasok yang panjang menyebabkan petani mendapatkan keuntungan yang kecil, belum adanya data pasokan dan permintaan untuk bahan baku obat bahan alam dan sentra produksi yang umumnya baru ditemukan di Pulau Jawa.
"Oleh karena itu kita harus dorong sisi produsennya kita harus buka sentra-sentra produksi di tempat lain. Tentu di situ ada aspek teknologi, bisnis, regulasi," jelasnya.
Untuk itu, selain riset ilmu hayati dan teknik, dibutuhkan juga riset sosial ekonomi untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi terkait intervensi dalam bidang ekonomi mikro, perdagangan dan kelembagaan.
Demi meningkatkan adopsi teknologi dalam produksi bahan baku obat bahan alami dapat digunakan model konsorsium kemitraan model quadruple helix yang melibatkan akademisi, dunia usaha, pemerintah dan komunitas, demikian Chaidir.
Baca juga: Peneliti: 9.600 tumbuhan Indonesia teridentifikasi sebagai obat
Baca juga: Peneliti IPB: 80 persen tanaman obat dunia ada di Indonesia
Baca juga: Guru Besar UI: Tanaman herbal berpotensi jadi obat terapi COVID-19
Baca juga: Peneliti IPB ingatkan tidak semua tanaman obat aman dikonsumsi
"Ketersediaan bahan baku obat itu sangat penting dalam jumlah dan mutu yang baik agar bisa dijamin secara berkelanjutan," kata Perekayasa Ahli Madya di Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Chaidir dalam diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa sumber tanaman obat saat ini 85 persen masih diperoleh dari alam yang berasal dari tanaman liar. Hal itu berdampak pada mutu bahan yang beragam, potensi adulterasi atau cemaran, kepunahan tanaman dan pasokan bahan baku yang tidak berkelanjutan.
Dia juga menyoroti bahwa pelaku produsen tanaman obat atau simplisia masih didominasi oleh petani pengumpul, bukan petani yang melakukan penanaman.
Selain itu, sebagian besar dari produsen tanaman obat itu masuk dalam kategori usaha kecil menengah dengan teknik memproses yang belum memenuhi standar.
Terdapat juga isu bahwa rantai pasok yang panjang menyebabkan petani mendapatkan keuntungan yang kecil, belum adanya data pasokan dan permintaan untuk bahan baku obat bahan alam dan sentra produksi yang umumnya baru ditemukan di Pulau Jawa.
"Oleh karena itu kita harus dorong sisi produsennya kita harus buka sentra-sentra produksi di tempat lain. Tentu di situ ada aspek teknologi, bisnis, regulasi," jelasnya.
Untuk itu, selain riset ilmu hayati dan teknik, dibutuhkan juga riset sosial ekonomi untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi terkait intervensi dalam bidang ekonomi mikro, perdagangan dan kelembagaan.
Demi meningkatkan adopsi teknologi dalam produksi bahan baku obat bahan alami dapat digunakan model konsorsium kemitraan model quadruple helix yang melibatkan akademisi, dunia usaha, pemerintah dan komunitas, demikian Chaidir.
Baca juga: Peneliti: 9.600 tumbuhan Indonesia teridentifikasi sebagai obat
Baca juga: Peneliti IPB: 80 persen tanaman obat dunia ada di Indonesia
Baca juga: Guru Besar UI: Tanaman herbal berpotensi jadi obat terapi COVID-19
Baca juga: Peneliti IPB ingatkan tidak semua tanaman obat aman dikonsumsi
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022
Tags: