Alissa Wahid ungkap alasan perempuan mudah terpapar radikalisme
18 Agustus 2022 20:54 WIB
Tangkapan layar - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid (kiri atas) saat menjadi narasumber dalam webinar 100 Tahun Tjipta Widjaja bertajuk "Keberagaman untuk Keberlanjutan", sebagaimana dipantau di Jakarta, Kamis (18/8/2022). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid mengungkapkan salah satu alasan perempuan mudah terpapar radikalisme adalah karena di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, aspek "nurturing" atau pengasuhan dengan nilai perjuangan kuat dikembangkan dalam diri perempuan.
"Perempuan lebih rentan terpapar radikalisme karena dalam kehidupan sehari-hari kita yang dikembangkan dari perempuan itu adalah aspek nurturing. Aspek nurturing ini yang kuat dikembangkan," kata Alissa saat menjadi narasumber dalam webinar 100 Tahun Tjipta Widjaja bertajuk Keberagaman untuk Keberlanjutan, sebagaimana dipantau di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Musdah Mulia: Pemberdayaan perempuan cegah pengaruh paham radikal
Baca juga: AMAN: Berantas radikalisme tak bisa hanya andalkan pendekatan keamanan
Dengan demikian, lanjut dia, pemaparan radikalisme dari kelompok radikal yang mengatasnamakan perjuangan merawat kejayaan Tuhan terhadap kaum perempuan lebih mudah dilakukan.
Bahkan, Alissa menyampaikan setelah terpapar radikalisme, para perempuan itu juga sulit untuk dideradikalisasi karena memiliki militansi yang lebih kuat sehingga mereka justru mengerahkan segala upaya (all out) dalam menyebarkannya ke orang-orang dan mempertahankan paham radikal yang telah mereka yakini itu.
"Nah, kalau sesuatu itu sudah membawa nilai-nilai perjuangan, maka perempuan itu militansinya jauh lebih tinggi. Jadi, istilahnya lebih all out," ucap dia.
Berikutnya, Alissa juga mengatakan setelah terpapar radikalisme dan memiliki militansi yang kuat, perempuan pun akan lebih mudah diajak berkontribusi untuk mengembangkan jaringan terorisme.
Ia menyampaikan salah satu contohnya ada dalam kasus tenaga kerja migran, sebagaimana penelitian dari peneliti terorisme internasional Sydney Jones.
"Penelitian ini menunjukkan banyak pekerja migran perempuan di luar negeri yang menyumbang kepada gerakan-gerakan rekrutmen ini (kelompok radikal atau teroris) karena meyakini sedang memperjuangkan kejayaan Tuhan," ucap Alissa.
Sementara laki-laki, menurut Alissa, mereka dalam kehidupan sehari-hari lebih kompetitif dan berorientasi pada hasil. Dengan demikian, mereka kurang memaknai tahapan proses sehingga jarang memiliki militansi yang sekuat perempuan. Oleh karena itu, lelaki yang terpapar radikalisme juga lebih mudah dideradikalisasi dibandingkan perempuan.
Baca juga: Direktur AMAN sebut ada beberapa faktor perempuan jadi pelaku teror
"Berikutnya, mereka dapat berpikir taktis jadi bisa mengukur sesuatu yang tidak harus diperjuangkan secara berlebihan," tambah Alissa.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid menyampaikan bahwa perempuan merupakan kelompok yang rentan terpapar radikalisme dan paling sulit untuk dideradikalisasi.
Ia mengatakan perempuan yang terpapar radikalisme tidak hanya terpengaruh sampai ke pola pikir-nya, tetapi juga hatinya.
"Perempuan lebih rentan terpapar radikalisme karena dalam kehidupan sehari-hari kita yang dikembangkan dari perempuan itu adalah aspek nurturing. Aspek nurturing ini yang kuat dikembangkan," kata Alissa saat menjadi narasumber dalam webinar 100 Tahun Tjipta Widjaja bertajuk Keberagaman untuk Keberlanjutan, sebagaimana dipantau di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Musdah Mulia: Pemberdayaan perempuan cegah pengaruh paham radikal
Baca juga: AMAN: Berantas radikalisme tak bisa hanya andalkan pendekatan keamanan
Dengan demikian, lanjut dia, pemaparan radikalisme dari kelompok radikal yang mengatasnamakan perjuangan merawat kejayaan Tuhan terhadap kaum perempuan lebih mudah dilakukan.
Bahkan, Alissa menyampaikan setelah terpapar radikalisme, para perempuan itu juga sulit untuk dideradikalisasi karena memiliki militansi yang lebih kuat sehingga mereka justru mengerahkan segala upaya (all out) dalam menyebarkannya ke orang-orang dan mempertahankan paham radikal yang telah mereka yakini itu.
"Nah, kalau sesuatu itu sudah membawa nilai-nilai perjuangan, maka perempuan itu militansinya jauh lebih tinggi. Jadi, istilahnya lebih all out," ucap dia.
Berikutnya, Alissa juga mengatakan setelah terpapar radikalisme dan memiliki militansi yang kuat, perempuan pun akan lebih mudah diajak berkontribusi untuk mengembangkan jaringan terorisme.
Ia menyampaikan salah satu contohnya ada dalam kasus tenaga kerja migran, sebagaimana penelitian dari peneliti terorisme internasional Sydney Jones.
"Penelitian ini menunjukkan banyak pekerja migran perempuan di luar negeri yang menyumbang kepada gerakan-gerakan rekrutmen ini (kelompok radikal atau teroris) karena meyakini sedang memperjuangkan kejayaan Tuhan," ucap Alissa.
Sementara laki-laki, menurut Alissa, mereka dalam kehidupan sehari-hari lebih kompetitif dan berorientasi pada hasil. Dengan demikian, mereka kurang memaknai tahapan proses sehingga jarang memiliki militansi yang sekuat perempuan. Oleh karena itu, lelaki yang terpapar radikalisme juga lebih mudah dideradikalisasi dibandingkan perempuan.
Baca juga: Direktur AMAN sebut ada beberapa faktor perempuan jadi pelaku teror
"Berikutnya, mereka dapat berpikir taktis jadi bisa mengukur sesuatu yang tidak harus diperjuangkan secara berlebihan," tambah Alissa.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid menyampaikan bahwa perempuan merupakan kelompok yang rentan terpapar radikalisme dan paling sulit untuk dideradikalisasi.
Ia mengatakan perempuan yang terpapar radikalisme tidak hanya terpengaruh sampai ke pola pikir-nya, tetapi juga hatinya.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022
Tags: