Jakarta (ANTARA) - Ketua Pusat Bantuan Hukum Masyarakat (PBHM) Ralian Jawalsen menilai maraknya kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2022 membuktikan kepemimpinan di lembaga antirasuah tersebut berjalan efektif.

"Dari aspek penindakan tentu efektif ya dan saya kira jumlah ini masih akan terus bertambah ke depan," kata Ketua PBHM Ralian Jawalsen dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Sepanjang tahun 2022 atau terhitung Januari hingga Agustus, terdapat delapan kepala daerah yang ditangkap oleh KPK. Jumlah tersebut termasuk eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti yang saat ditangkap baru saja purnatugas serta diketahui masih menempati rumah dinas.

Terakhir, KPK melakukan OTT Bupati Pemalang, Jawa Tengah, Mukti Agung Wibowo. Hal itu sekaligus menambah daftar panjang kepala daerah yang berurusan dengan lembaga antirasuah tersebut.

Menurutnya, meskipun penangkapan kepala daerah merupakan peristiwa yang sejatinya memprihatinkan, namun upaya penindakan oleh KPK tidak boleh surut dalam menindak kejahatan korupsi. KPK, lanjutnya, harus terus konsisten berpijak pada tiga strategi yang dirumuskan oleh Firli dan jajaran di KPK dalam memberantas korupsi.

"Ketua KPK sering menyatakan yang korupsi pasti ditangkap. Saya yakin KPK bakal lebih sibuk lagi karena tren korupsi biasanya meningkat jelang pilkada atau pemilu," katanya.

Ia mengatakan korupsi oleh kepala daerah berpotensi meningkat seiring dimulainya tahapan Pemilu 2024. Apalagi, saat ini partai politik maupun calon-calon petahana sudah mulai memanaskan mesin politik.

Berkaca pada pengalaman sebelumnya, mendekati Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, tren korupsi dari 2017 sampai 2018 meningkat hingga dua kali lipat. Berdasarkan data KPK, pada 2017 setidaknya 14 kepala daerah dijerat KPK dan tahun 2018 naik tajam menjadi 32 kepala daerah.

Ia menduga tren peningkatan tersebut tidak lepas dari mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kepala daerah saat akan maju mencalonkan diri.

Proses pencalonan yang cukup panjang dan dengan biaya mahal memaksa kepala daerah, baik selaku petahana maupun yang berniat jadi kontestan pemilu, mengambil ancang-ancang sejak jauh hari dengan memanfaatkan jabatannya, jelasnya.

"Di sini praktik korupsi marak terjadi. Modusnya macam-macam, bisa jual beli jabatan, main pengadaan barang atau jasa, suap perizinan, ya termasuk gratifikasi," ujarnya.

Oleh karena itu, ia mendorong KPK untuk terus meningkatkan upaya mitigasi sekaligus pengawasan dan penindakan terhadap kepala daerah, termasuk penjabat kepala daerah.

Secara khusus, ia juga meminta pimpinan KPK berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan dengan kejaksaan dalam mencegah praktik korupsi.