Jakarta (ANTARA) - Badak jawa kini hanya dapat dijumpai di semenanjung Ujung Kulon saja, bahkan tak ada satupun kebun binatang di dunia yang memiliki koleksi mamalia ini. Padahal, hewan dengan nama latin Rhinoceros Sondaicus itu sempat mendiami sejumlah besar wilayah Asia Tenggara termasuk India.
Di semenanjung Malaysia badak jawa terakhir ditembak mati pada 1932 untuk koleksi museum. Di Vietnam secara resmi diumumkan punah pada 2010 setelah individu terakhir ditemukan mati dengan luka tembak dan cula telah terpotong.
Kini hewan bercula satu itu hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Diperkirakan total populasinya saat ini mencapai 76 ekor. Meski jumlahnya mengalami kenaikan dari beberapa dekade terakhir, ancaman kepunahan tetap menghantui mereka.
Ancaman-ancaman itu mulai dari banyaknya kegiatan ilegal manusia, dominasi tumbuhan invasif yang menghambat pertumbuhan pakan badak, hingga ancaman erupsi gunung Krakatau.
Selain itu, sempitnya ruang hidup mereka membuat ancaman terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding). Kondisi ini tentu patut dikhawatirkan karena akan membuat keturunan mereka hanya memiliki satu turunan genetik, cacat, dan daya tahan hidup yang rendah.
Badak jawa adalah spesies pemalu dan soliter. Mereka hidup di kedalaman daratan rendah hutan hujan tropis. Siklus hidupnya dihabiskan dengan makan, berkubang, dan berendam. Pada bulan-bulan tertentu mereka akan mencari pasangan dan hidup bersama hingga memiliki anak.
Intervensi Manusia
Dalam dua dekade terakhir memang tidak ditemukan adanya badak jawa yang mati akibat perburuan liar. Badak jawa yang ditemukan mati oleh tim Monitoring Badak Jawa oleh sebab yang wajar; usia dan penyakit.
Namun kekhawatiran itu tetap ada, apalagi sering ditemukan para pemburu burung dan lebah madu yang tentunya bakal mengganggu ketenangan hidup badak jawa. Saat tim Ekspedisi Badak Jawa Kantor Berita ANTARA menyusuri wilayah pengembalaan Cibunar, tim melihat sejumlah pemburu ilegal yang masuk ke dalam hutan.
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon Wilayah II Handeuleum Ujang Acep menjelaskan saat tim Monitoring Badak Jawa (MBJ) melakukan pemantauan kerap ditemukan jejak kaki para pemburu serta jaring keramba untuk menjerat burung.
Beberapa kali pula tim MBJ menangkap basah para pemburu, namun aktivitas ilegal mereka sulit untuk diberantas. Dari hasil interograsi para pemburu yang tertangkap tangan, berburu burung dan madu menjadi mata pencaharian lain selain menunggu padi menguning.
Yang paling merugikan dalam upaya konservasi badak jawa adalah ketika para pemburu mencuri atau mencabut kartu penyimpanan (memori card) kamera jebak. Padahal kamera jebak menjadi salah satu medium penting untuk mengidentifikasi badak.
"Ada beberapa kamera juga yang hilang. Artinya para pelanggar itu sudah tahu bahwa mereka terekam. Sehingga kameranya diambil atau mereka tahu cara membukanya sehingga kartu (penyimpanan) yang diambil," kata Ujang usai mengevaluasi kegiatan monitoring kamera jebak.
Ujang menyebut sebanyak 75 kartu penyimpanan dicabut dan 30-an kamera jebak hilang pada 2021, belum termasuk gangguan lain baik terjatuh oleh alam maupun hewan. Adapun pada awal 2022, 10 kamera jebak dari sekitar 100-an yang terpasang mendapat gangguan.
Baca juga: Melacak jejak badak jawa, sesulit mencegah kepunahan (1)
Baca juga: Melacak jejak badak jawa, sesulit mencegah kepunahan (2)
Tanaman Langkap
Tanaman langkap menjadi salah satu ancaman alami bagi badak jawa. Langkap (Arenga Obtusifolia) merupakan tanaman sejenis palem-paleman yang dapat tumbuh dan menyebar dengan cepat. Tanaman ini dapat mengakibatkan terfragmentasinya habitat dan menurunkan keanekaragaman jenis tanaman pakan badak jawa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 2002, ada sekitar 109 jenis pakan. Sekitar 97 jenis tumbuhan merupakan pakan badak jawa, 74 jenis tumbuhan pakan banteng, dan 62 jenis merupakan pakan bersama bagi badak dan banteng.
Guru Besar IPB dari Departemen Konservasi Sumber Daya dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Harini Muntasib mengatakan invasi langkap merupakan penyebab utama terjadinya degradasi habitat badak jawa secara alami.
Langkap dewasa tajuknya dapat menutupi paparan sinar matahari untuk menembus dasar hutan. Akibatnya, tumbuhan pakan badak yang berada di bawahnya tidak bisa berkembang dan mengurangi ketersediaan pakan badak.
Pelaksana Lanjutan Pengidentifikasi Badak Jawa TNUK Asep Yayus menjelaskan pengendalian tanaman langkap sudah dilakukan oleh petugas dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan pembabatan di sekitar area pakan badak.
Pembabatan dilakukan sekali dalam setahun di sejumlah blok yang didominasi langkap. Namun pengendalian langkap tidak bisa dilakukan tiap tahunnya dengan alasan ketersediaan dana yang terbatas. Akan tetapi, sejumlah upaya nyata untuk keberlangsungan badak jawa terus dilakukan.
Baca juga: Kala badak menghiasi gunung-gunung di Jawa Barat
Baca juga: Mengenal badak jawa, sang unicorn Ujung Kulon
Perkawinan Sedarah
Penyelamatan populasi badak jawa harus terus dilakukan. Jumlah yang sedikit, terisolasi, ditambah angka kelahiran yang rendah telah menimbulkan kekhawatiran para peneliti dan pegiat lingkungan bahwa bahwa badak akan menghadapi perkawinan sedarah (Inbreeding).
Harini Muntasib menyebut perkawinan sedarah akan membuat kualitas badak menurun, dan tentunya berpengaruh pada keragaman genetiknya. Berdasarkan penelitiannya melalui rekaman kamera jebak, saat ini sudah ditemui sejumlah badak jawa termasuk anaknya teridentifikasi cacat.
Cacat yang dimaksud seperti ekor yang melipat (tidak menjuntai) dan pendek maupun telinga yang terlipat. Namun untuk memastikan bahwa telah terjadi perkawinan sedarah harus dilakukan penelitian tes DNA.
Dewasa ini penelitian untuk memastikan adanya kelainan genetik baru sebatas lewat pengambilan DNA melalui sampel feses. Menurut Harini, hasil yang diperoleh dari sampel feses juga belum bisa dikatakan 100 persen akurat, sebab agar DNA tidak rusak, kotoran yang diambil harus berusia kurang dari satu hari.
Badak jawa adalah spesies yang sulit untuk diidentifikasi secara langsung. Berbeda dengan saudaranya di Sumatra, hingga saat ini belum ada penelitian secara detail perihal badak jawa. Jangankan untuk ditangkap, untuk sekedar bertemu langsung pun sangat sulit. Data-data yang menjadi acuan para peneliti hanya dari rekaman kamera jebak dan feses saja.
"Kalaupun jumlahnya banyak tetapi genetiknya satu keturunan yang sama, maka akan sama saja bahwa badak jawa sangat terancam dari kepunahan," kata Harini saat ditemui di sela-sela kegiatan mengajarnya.
Sependapat dengan Harini, Asep Yayus menyebut perkawinan sedarah akan membuat badak jawa rentan terhadap penyakit serta daya tahan tubuhnya berkurang secara drastis.
Baca juga: Merawat Ujung Kulon, merawat kehidupan
Baca juga: Populasi badak jawa dan elang jawa bertambah
Kondisi yang jauh dari ideal
Dari populasi saat ini sekitar 76 ekor, komposisi badak jawa di Ujung Kulon dikatakan tidak ideal yakni 34 jantan dan 42 betina. Badak jawa atau mamalia idealnya 1 berbanding empat, artinya satu jantan untuk empat betina. Kondisi itu tidak terjadi di Ujung Kulon, hanya satu betina untuk satu jantan.
Yang menjadi kendala adalah penelitian mengenai perilaku kawin badak jawa belum banyak dilakukan. Sehingga sampai saat ini informasi tentang perilaku kawinnya belum banyak diketahui. Perilaku kawin badak jawa ditafsirkan berdasarkan perilaku badak india yang memiliki sejumlah kemiripan.
Umumnya, badak betina dapat digolongkan menjadi badak dewasa yakni telah berumur tiga sampai empat tahun. Sedangkan untuk badak jantan bila telah berumur sekitar enam tahun. Interval melahirkan adalah satu kali dalam empat sampai lima tahun. Berkaca pada informasi tersebut, tingkat reproduksi badak jawa bisa dikatakan rendah.
Mengingat populasi yang relatif kecil dan terkonsentrasi di wilayah terisolir tentu saja badak jawa memiliki keterancaman punah yang tinggi. Ancaman yang bisa datang dari bencana alam, perubahan habitat, maupun genetik satwa itu sendiri.
Maka salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam upaya konservasi badak jawa, utamanya mempertahankan keragaman genetik adalah perluasan habitat atau mencari rumah kedua bagi hewan yang disebut Unicorn oleh penjelajah asal Italia Marco Polo tersebut.
Perluasan habitat sangat diperlukan sebagai salah satu solusi menghindari punahnya badak jawa. Perluasan habitat akan membuat badak tak lagi terisolir, mereka akan memiliki daya jelajah yang semakin luas dan potensi bertemu dengan genetik yang berbeda semakin terbuka.
Artikel
Melacak jejak badak jawa, sesulit mencegah kepunahan (selesai)
Oleh Asep Firmansyah
13 Agustus 2022 19:09 WIB
Badak Jawa tertangkap kamera jebak tengah berkubang di Taman Nasional Ujung Kulon. ANTARA/HO-Balai Taman Nasional Ujung Kulon.
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022
Tags: