DPR sebut gotong royong sebagai modal sosial RI kendalikan inflasi
10 Agustus 2022 13:33 WIB
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Andreas Eddy Susetyo dalam Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (10/08/2022). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Andreas Eddy Susetyo menyebutkan gotong royong merupakan modal sosial utama Indonesia dalam mengendalikan inflasi, jika belajar dari penanganan pandemi COVID-19.
"Belajar dari penanganan pandemi, ternyata kita bisa berhasil karena kita mempunyai dua senjata yaitu modal sosial berupa gotong royong dan pemanfaatan teknologi digital atau digitalisasi," kata Andreas dalam dimulainya Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Maka dari itu, lanjutnya, gotong royong dalam pengendalian inflasi bisa dilakukan mulai dari rumah tangga, kemudian digerakkan ke pemerintah daerah, lalu disinergikan dan dikoordinasikan dengan pemerintah pusat.
Dari rumah tangga, ia mencontohkan masyarakat bisa berperan mengendalikan inflasi mulai dari menanam sendiri cabai atau bawang di pekarangan untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan komoditas tersebut, sehingga nantinya akan menurunkan harga.
Sementara untuk pemerintah daerah, operasi pasar harus terus dilakukan bekerja sama antar daerah dan pemerintah pusat untuk menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi.
Baca juga: BI ajak OP digencarkan, tekan inflasi pangan turun hingga ke 5 persen
Andreas menjelaskan pemerintah pusat sendiri sebenarnya sudah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun ini untuk ketahanan pangan yang disalurkan kepada pemerintah daerah.
"Dana dan mekanisme ini mudah-mudahan bisa dipakai untuk membantu daerah melakukan intervensi," ujarnya.
Di sisi lain, ia mengungkapkan pemerintah dan DPR juga telah menyepakati subsidi dan kompensasi energi hingga Rp520 triliun pada tahun ini untuk dapat mengendalikan inflasi harga yang diatur oleh pemerintah alias administered price.
Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tidak mudah karena memang fungsi APBN di kebijakan fiskal memang telah disepakati sebagai shock absorber atau peredam kejut untuk menahan gejolak. Namun APBN yang kredibel dan berkelanjutan juga tetap harus diperhatikan.
Baca juga: Sri Mulyani: Inflasi Indonesia 4,94 persen masih relatif moderat
Baca juga: BPS: Cabai merah hingga bawang merah picu inflasi Juli 2022
"Belajar dari penanganan pandemi, ternyata kita bisa berhasil karena kita mempunyai dua senjata yaitu modal sosial berupa gotong royong dan pemanfaatan teknologi digital atau digitalisasi," kata Andreas dalam dimulainya Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Maka dari itu, lanjutnya, gotong royong dalam pengendalian inflasi bisa dilakukan mulai dari rumah tangga, kemudian digerakkan ke pemerintah daerah, lalu disinergikan dan dikoordinasikan dengan pemerintah pusat.
Dari rumah tangga, ia mencontohkan masyarakat bisa berperan mengendalikan inflasi mulai dari menanam sendiri cabai atau bawang di pekarangan untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan komoditas tersebut, sehingga nantinya akan menurunkan harga.
Sementara untuk pemerintah daerah, operasi pasar harus terus dilakukan bekerja sama antar daerah dan pemerintah pusat untuk menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi.
Baca juga: BI ajak OP digencarkan, tekan inflasi pangan turun hingga ke 5 persen
Andreas menjelaskan pemerintah pusat sendiri sebenarnya sudah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun ini untuk ketahanan pangan yang disalurkan kepada pemerintah daerah.
"Dana dan mekanisme ini mudah-mudahan bisa dipakai untuk membantu daerah melakukan intervensi," ujarnya.
Di sisi lain, ia mengungkapkan pemerintah dan DPR juga telah menyepakati subsidi dan kompensasi energi hingga Rp520 triliun pada tahun ini untuk dapat mengendalikan inflasi harga yang diatur oleh pemerintah alias administered price.
Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tidak mudah karena memang fungsi APBN di kebijakan fiskal memang telah disepakati sebagai shock absorber atau peredam kejut untuk menahan gejolak. Namun APBN yang kredibel dan berkelanjutan juga tetap harus diperhatikan.
Baca juga: Sri Mulyani: Inflasi Indonesia 4,94 persen masih relatif moderat
Baca juga: BPS: Cabai merah hingga bawang merah picu inflasi Juli 2022
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022
Tags: