Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengemukakan laju kasus COVID-19 menuju puncak gelombang keempat di Indonesia bergerak lambat, sebab virus corona harus melalui orang yang sudah memiliki imunitas.

"Masa rawan di Indonesia saya prediksi sampai Oktober 2022. Bukan berarti banyak kematian," kata Dicky Budiman yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

Menurut Dicky, varian baru COVID-19 terus bermunculan. Saat ini, varian yang sedang mendominasi di kalangan pasien adalah BA.4, BA.5 dan BA.275.

Baca juga: Kemenkes minta masyarakat segera vaksinasi penguat tingkatkan imunitas

Dicky mengatakan Indonesia masih berada di gelombang empat COVID-19 yang diperkirakan kasusnya memuncak pada Agustus atau September 2022.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan RI memprediksi gelombang pandemi COVID-19 subvarian omicron di Indonesia memuncak pada akhir Juli 2022, karena didasari atas pengamatan situasi serupa di Afrika Selatan sebagai titik awal penyebaran varian omicron di dunia.

"Tapi kalau lemah di testing, tracing, dan treatment (3T), mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5M), serta vaksinasi, pada gilirannya akan mengancam jiwa kelompok paling rawan," katanya.

Kelompok rawan tersebut seperti lansia, tenaga kesehatan, komorbid, ibu hamil dan anak.

Dicky mengatakan varian BA.275 harus diwaspadai, sebab hadir di tengah gelombang empat, meskipun belum menggeser dominasi BA.5. "Jumlah (BA.275) setidaknya 2 persen dari yang dites genom sekuensing," katanya.

Melihat virus yang terus bermutasi, Dicky mengaku sulit memperkirakan kapan COVID-19 akan menjadi penyakit influenza biasa.

Menurut Dicky, hal yang dapat memengaruhi SARS-CoV-2 menjadi penyakit influenza biasa, antara lain stigma, obat, karakter dan sifat virus.

Baca juga: Epidemiolog: Peningkatan antibodi tak jamin lonjakan kasus tak terjadi

Baca juga: Menkes imbau masyarakat tetap waspada dan tidak abai prokes


"Dahulu, demam typoid amat ditakuti, namun stigma itu kemudian berubah karena kehadiran obat. Tidak ada kematian, karena obatnya ada, sekarang obat selain mahal, masih terbatas dan belum memadai," ujarnya.

Dicky mengatakan COVID-19 terus bermutasi melahirkan varian baru dan mengurangi efikasi vaksin. Kondisi itu tidak bisa diatasi hanya dengan vaksinasi dan obat, melainkan perlu pendekatan 3T dan 5M.

"Perilaku hidup bersih dan sehat harus jadi budaya baru. Itu yang mengurangi potensi virus bermutasi," katanya.