Ekonom: Transisi pangan dan transisi energi bangkitkan ekonomi
3 Agustus 2022 16:39 WIB
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (kedua kiri) berbincang dengan pedagang saat melakukan kunjungan di Pasar Keputran Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (30/7/2022). Kunjungannya untuk mengetahui secara langsung harga sejumlah komoditi pangan di pasar tersebut. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom dan Co-Founder Dewan Pakar Institute of Social Economics and Digital (ISED) Ryan Kiryanto mengatakan transisi pangan dan transisi energi diperlukan untuk meredam krisis yang terjadi di tingkat global sehingga dapat membangkitkan perekonomian nasional.
Ryan mengatakan transisi pangan dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan, yakni mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi dengan tidak fokus pada satu jenis saja.
"Artinya jangan melulu mengandalkan beras atau padi, tapi masyarakat diperkenalkan dengan komoditas pertanian lain seperti jagung, umbi-umbian, sagu,” ujar Ryan saat dihubungi oleh Antara di Jakarta, Rabu.
Dengan itu, apabila kehabisan stok beras, pemerintah tidak perlu mengekspor bahan pokok jenis itu karena sudah tersedia makanan pokok jenis yang lain.
Baca juga: Kementan serukan optimalkan pangan dalam negeri agar tak melulu impor
Lanjut Ryan, diperlukan juga modernisasi pada sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan kapasitas panen dan membuat tanaman dapat bertahan hidup dalam kondisi cuaca apapun.
"Dalam cuaca apapun, tanaman pokok tetap panen, dengan teknologi panen kita jadi lebih banyak," ujar Ryan.
Sehingga, hal ini dapat mengatasi masalah kelangkaan bahan makanan pokok yang terjadi beberapa bulan terakhir yang disebabkan oleh kondisi cuaca tidak menentu di daerah sentra produksi.
Setelahnya, ia mengingatkan pentingnya kolaborasi antara Badan Pangan Nasional beserta kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan stok pangan nasional memadai dan mencukupi dalam kondisi dan situasi apapun pada setiap daerah di Indonesia.
Sementara itu, terkait transisi energi, Ryan menyebut Indonesia harus mempercepat mengimplementasikan Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya dengan memproduksi produksi bahan bakar non fosil.
“Misalnya dari CPO (Crude Palm Oil) dijadikan sebagai energi, atau dari minyak jarak dijadikan BBM alternatif,” ujar Ryan.
Baca juga: Kemenko PMK dorong pemanfaatan pangan lokal untuk cegah kekerdilan
Ryan melanjutkan, transisi energi juga bisa dilakukan dengan memperbanyak panel surya untuk memanfaatkan energi dari sinar matahari dan memanfaatkan bendungan untuk menciptakan energi melalui tenaga air.
Lalu, menurutnya ke depan berbagai perangkat elektronik hingga kendaraan bermotor perlu menggunakan batterai lithium sehingga sesuai dengan tujuan dari EBT yakni untuk mengurangi emisi gas buang.
“Energi dari fosil tingkat polusinya tinggi, kita harus mulai mengurangi emisi CO2,” ujar Ryan
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan krisis pangan dan energi secara global telah memberikan tekanan terhadap inflasi domestik sepanjang tahun 2022. BPS mencatat Inflasi tahunan Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen (yoy) atau tertinggi sejak Oktober 2015.
Baca juga: Pengamat: Krisis harusnya pacu Indonesia bangkit lebih kuat
Baca juga: BI: Inflasi pangan bakal turun mulai Agustus didorong kenaikan pasokan
Ryan mengatakan transisi pangan dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan, yakni mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi dengan tidak fokus pada satu jenis saja.
"Artinya jangan melulu mengandalkan beras atau padi, tapi masyarakat diperkenalkan dengan komoditas pertanian lain seperti jagung, umbi-umbian, sagu,” ujar Ryan saat dihubungi oleh Antara di Jakarta, Rabu.
Dengan itu, apabila kehabisan stok beras, pemerintah tidak perlu mengekspor bahan pokok jenis itu karena sudah tersedia makanan pokok jenis yang lain.
Baca juga: Kementan serukan optimalkan pangan dalam negeri agar tak melulu impor
Lanjut Ryan, diperlukan juga modernisasi pada sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan kapasitas panen dan membuat tanaman dapat bertahan hidup dalam kondisi cuaca apapun.
"Dalam cuaca apapun, tanaman pokok tetap panen, dengan teknologi panen kita jadi lebih banyak," ujar Ryan.
Sehingga, hal ini dapat mengatasi masalah kelangkaan bahan makanan pokok yang terjadi beberapa bulan terakhir yang disebabkan oleh kondisi cuaca tidak menentu di daerah sentra produksi.
Setelahnya, ia mengingatkan pentingnya kolaborasi antara Badan Pangan Nasional beserta kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan stok pangan nasional memadai dan mencukupi dalam kondisi dan situasi apapun pada setiap daerah di Indonesia.
Sementara itu, terkait transisi energi, Ryan menyebut Indonesia harus mempercepat mengimplementasikan Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya dengan memproduksi produksi bahan bakar non fosil.
“Misalnya dari CPO (Crude Palm Oil) dijadikan sebagai energi, atau dari minyak jarak dijadikan BBM alternatif,” ujar Ryan.
Baca juga: Kemenko PMK dorong pemanfaatan pangan lokal untuk cegah kekerdilan
Ryan melanjutkan, transisi energi juga bisa dilakukan dengan memperbanyak panel surya untuk memanfaatkan energi dari sinar matahari dan memanfaatkan bendungan untuk menciptakan energi melalui tenaga air.
Lalu, menurutnya ke depan berbagai perangkat elektronik hingga kendaraan bermotor perlu menggunakan batterai lithium sehingga sesuai dengan tujuan dari EBT yakni untuk mengurangi emisi gas buang.
“Energi dari fosil tingkat polusinya tinggi, kita harus mulai mengurangi emisi CO2,” ujar Ryan
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan krisis pangan dan energi secara global telah memberikan tekanan terhadap inflasi domestik sepanjang tahun 2022. BPS mencatat Inflasi tahunan Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen (yoy) atau tertinggi sejak Oktober 2015.
Baca juga: Pengamat: Krisis harusnya pacu Indonesia bangkit lebih kuat
Baca juga: BI: Inflasi pangan bakal turun mulai Agustus didorong kenaikan pasokan
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: