BKKBN: Menuntaskan kemiskinan dapat menekan potensi perkawinan anak
2 Agustus 2022 18:14 WIB
Anak-anak bermain di rel kereta api di api di kawasan Pejompongan, Jakarta, Jumat (15/7/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2022 berjumlah 26,16 juta orang atau menurun 1,38 juta orang (0,60 persen) dibandingkan Maret 2021. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak Ahmad/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa menuntaskan secara maksimal permasalahan kemiskinan ekstrem dapat menekan potensi terjadinya perkawinan anak.
“Kalau dari data BPS, Survei Penduduk (SP) ya, perkawinan anak usia 15-19 tahun itu masih sangat tinggi. Saya tidak hafal angkanya tapi masih cukup tinggi,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Boni menuturkan, pada usia normal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, seorang anak dapat dikatakan layak menikah ketika berusia 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Namun sayangnya, perkawinan anak masih didapati terjadi di sejumlah daerah, terutama pada daerah yang tertinggal ataupun mengalami kesulitan ekonomi yang tinggi. Dia mencontohkan kesulitan ekonomi dapat ditemukan di daerah Karawang atau Indramayu, Jawa Barat.
Boni membeberkan bahwa perkawinan anak, lebih rentan terjadi di daerah yang mengalami kesulitan ekonomi. Pada kondisi tertentu, anak di dalam suatu keluarga akan dijadikan sebagai sebuah aset untuk menunjang perekonomian keluarga ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Kepala BKKBN: Optimalkan PK21 hapus kemiskinan ekstrem
Adanya persepsi anak sebagai aset membuat angka perkawinan anak terus bertambah setiap tahunnya. Selain sebagai aset, ada pula keluarga yang menganggap bahwa beban hidup dapat berkurang bila segera menikahkan anak.
Menurut dia, kedua persepsi itu timbul karena mengalami kemiskinan yang kemudian membuat orang tua tidak berdaya dalam mengakses pengetahuan, pendidikan atau sekadar pergi berkunjung ke fasilitas kesehatan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2021 menunjukkan, sebanyak 27,54 juta atau 10,14 persen penduduk Indonesia mengalami kemiskinan ekstrem. Namun, turun menjadi 26,50 juta jiwa atau 9,71 persen pada September 2021.
Kurangnya edukasi karena kemiskinan uga menyebabkan terdapat anggapan yang membawa-bawa perintah agama dan budaya untuk mempercepat pernikahan pada usia yang lebih muda.
“Itu harus kita ubah bagaimana pendekatan sosial budaya untuk mencegah perkawinan anak, jadi terkait dua hal ya sosial ekonomi dan sosial budaya,” kata dia.
Baca juga: Wagub DKI: Kemiskinan di Jakarta bertambah akibat pandemi
Guna menyelesaikan permasalahan tersebut BKKBN bekerja sama dengan sejumlah kementerian/lembaga guna menurunkan kembali angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menjadi nol persen pada tahun 2024, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022.
Adapun langkah yang diambil berupa memutakhirkan data-data dalam Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang nantinya dijadikan sebagai data dasar program penghapusan kemiskinan ekstrem.
Sedangkan terkait edukasi, BKKBN bersama Tim Pendamping Keluarga, PKB dan PLKB terus menyosialisasikan bahaya perkawinan anak dan kesehatan reproduksi hingga stunting kepada keluarga sampai ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
“Anak itu juga sudah banyak dikawinkan, tidak jadi beban lagi. Ini seharusnya semua pihak terlibat. Salah satunya kemiskinannya dihilangkan dulu, ekonominya dikuatkan,” ujar Boni.
“Kalau dari data BPS, Survei Penduduk (SP) ya, perkawinan anak usia 15-19 tahun itu masih sangat tinggi. Saya tidak hafal angkanya tapi masih cukup tinggi,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Boni menuturkan, pada usia normal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, seorang anak dapat dikatakan layak menikah ketika berusia 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Namun sayangnya, perkawinan anak masih didapati terjadi di sejumlah daerah, terutama pada daerah yang tertinggal ataupun mengalami kesulitan ekonomi yang tinggi. Dia mencontohkan kesulitan ekonomi dapat ditemukan di daerah Karawang atau Indramayu, Jawa Barat.
Boni membeberkan bahwa perkawinan anak, lebih rentan terjadi di daerah yang mengalami kesulitan ekonomi. Pada kondisi tertentu, anak di dalam suatu keluarga akan dijadikan sebagai sebuah aset untuk menunjang perekonomian keluarga ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Kepala BKKBN: Optimalkan PK21 hapus kemiskinan ekstrem
Adanya persepsi anak sebagai aset membuat angka perkawinan anak terus bertambah setiap tahunnya. Selain sebagai aset, ada pula keluarga yang menganggap bahwa beban hidup dapat berkurang bila segera menikahkan anak.
Menurut dia, kedua persepsi itu timbul karena mengalami kemiskinan yang kemudian membuat orang tua tidak berdaya dalam mengakses pengetahuan, pendidikan atau sekadar pergi berkunjung ke fasilitas kesehatan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2021 menunjukkan, sebanyak 27,54 juta atau 10,14 persen penduduk Indonesia mengalami kemiskinan ekstrem. Namun, turun menjadi 26,50 juta jiwa atau 9,71 persen pada September 2021.
Kurangnya edukasi karena kemiskinan uga menyebabkan terdapat anggapan yang membawa-bawa perintah agama dan budaya untuk mempercepat pernikahan pada usia yang lebih muda.
“Itu harus kita ubah bagaimana pendekatan sosial budaya untuk mencegah perkawinan anak, jadi terkait dua hal ya sosial ekonomi dan sosial budaya,” kata dia.
Baca juga: Wagub DKI: Kemiskinan di Jakarta bertambah akibat pandemi
Guna menyelesaikan permasalahan tersebut BKKBN bekerja sama dengan sejumlah kementerian/lembaga guna menurunkan kembali angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menjadi nol persen pada tahun 2024, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022.
Adapun langkah yang diambil berupa memutakhirkan data-data dalam Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang nantinya dijadikan sebagai data dasar program penghapusan kemiskinan ekstrem.
Sedangkan terkait edukasi, BKKBN bersama Tim Pendamping Keluarga, PKB dan PLKB terus menyosialisasikan bahaya perkawinan anak dan kesehatan reproduksi hingga stunting kepada keluarga sampai ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
“Anak itu juga sudah banyak dikawinkan, tidak jadi beban lagi. Ini seharusnya semua pihak terlibat. Salah satunya kemiskinannya dihilangkan dulu, ekonominya dikuatkan,” ujar Boni.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2022
Tags: