Bank Mandiri: Kenaikan bunga Fed akan pengaruhi sektor eksternal RI
28 Juli 2022 11:01 WIB
Petugas kasir menghitung mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (25/2/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan normalisasi moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang lebih hawkish terutama kenaikan suku bunga akan mempengaruhi sektor eksternal Indonesia, khususnya pada arus pasar modal.
Seperti yang diharapkan, The Fed terus mengambil langkah yang lebih agresif dalam memerangi inflasi dalam beberapa pertemuan belakangan ini.
"Situasi tersebut telah meningkatkan risiko terhadap posisi cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah," kata Faisal dalam kajiannya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Fed naikkan bunga lagi, Powell sumpah tak akan menyerah lawan inflasi
Potensi tersebut, sambung dia, tetap ada meski kinerja ekspor cukup baik di tengah harga komoditas yang tinggi dan memungkinkan Indonesia untuk tetap menjalankan serangkaian surplus perdagangan yang besar.
The Fed terus menaikkan suku bunga kebijakan atau Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 basis poin (bps) dari 1,5 persen sampai 1,75 persen menjadi 2,25 persen hingga 2,5 persen pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Juli 2022, yang mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2019 atau sebelum pandemi.
Langkah tersebut diambil dengan latar belakang pasar tenaga kerja yang sangat ketat dan inflasi yang terlalu tinggi.
Meski demikian, Faisal menuturkan Otoritas AS menegaskan kembali bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target untuk suku bunga akan sesuai, yang akan melanjutkan proses pengurangan ukuran neraca secara signifikan.
Baca juga: BI catat modal asing keluar RI senilai Rp4,21 triliun dalam sepekan
Indikator belanja dan produksi di Negeri Paman Sam baru-baru ini telah melunak dan inflasi tetap jauh di atas tujuan jangka panjang, yakni dua persen. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) berada di atas ekspektasi sebesar 9,1 persen pada Juni 2022, dengan perubahan pada inflasi inti sebesar 5,9 persen.
"Pertumbuhan belanja konsumen telah melambat secara signifikan, sebagian mencerminkan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan dan kondisi keuangan yang lebih ketat. Investasi bisnis tetap juga terlihat menurun pada kuartal kedua," katanya.
Terlepas dari perkembangannya, pasar tenaga kerja tetap sangat ketat, dengan tingkat pengangguran mendekati level terendah 50 tahun, lowongan pekerjaan mendekati level tertinggi dalam sejarah, dan pertumbuhan upah meningkat.
Dengan demikian, ia memperkirakan langkah Fed selanjutnya akan bergantung pada data. Selama beberapa bulan mendatang, Bank Sentral AS akan mencari bukti kuat bahwa inflasi bergerak turun, konsisten dengan inflasi yang kembali ke level dua persen.
Seperti yang diharapkan, The Fed terus mengambil langkah yang lebih agresif dalam memerangi inflasi dalam beberapa pertemuan belakangan ini.
"Situasi tersebut telah meningkatkan risiko terhadap posisi cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah," kata Faisal dalam kajiannya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Fed naikkan bunga lagi, Powell sumpah tak akan menyerah lawan inflasi
Potensi tersebut, sambung dia, tetap ada meski kinerja ekspor cukup baik di tengah harga komoditas yang tinggi dan memungkinkan Indonesia untuk tetap menjalankan serangkaian surplus perdagangan yang besar.
The Fed terus menaikkan suku bunga kebijakan atau Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 basis poin (bps) dari 1,5 persen sampai 1,75 persen menjadi 2,25 persen hingga 2,5 persen pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Juli 2022, yang mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2019 atau sebelum pandemi.
Langkah tersebut diambil dengan latar belakang pasar tenaga kerja yang sangat ketat dan inflasi yang terlalu tinggi.
Meski demikian, Faisal menuturkan Otoritas AS menegaskan kembali bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target untuk suku bunga akan sesuai, yang akan melanjutkan proses pengurangan ukuran neraca secara signifikan.
Baca juga: BI catat modal asing keluar RI senilai Rp4,21 triliun dalam sepekan
Indikator belanja dan produksi di Negeri Paman Sam baru-baru ini telah melunak dan inflasi tetap jauh di atas tujuan jangka panjang, yakni dua persen. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) berada di atas ekspektasi sebesar 9,1 persen pada Juni 2022, dengan perubahan pada inflasi inti sebesar 5,9 persen.
"Pertumbuhan belanja konsumen telah melambat secara signifikan, sebagian mencerminkan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan dan kondisi keuangan yang lebih ketat. Investasi bisnis tetap juga terlihat menurun pada kuartal kedua," katanya.
Terlepas dari perkembangannya, pasar tenaga kerja tetap sangat ketat, dengan tingkat pengangguran mendekati level terendah 50 tahun, lowongan pekerjaan mendekati level tertinggi dalam sejarah, dan pertumbuhan upah meningkat.
Dengan demikian, ia memperkirakan langkah Fed selanjutnya akan bergantung pada data. Selama beberapa bulan mendatang, Bank Sentral AS akan mencari bukti kuat bahwa inflasi bergerak turun, konsisten dengan inflasi yang kembali ke level dua persen.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022
Tags: