Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan probabilitas Indonesia untuk mengalami resesi akibat ketidakpastian geopolitik saat ini hanya 3 persen berdasarkan survei Bloomberg.

“Indonesia dalam hal ini probabilitas untuk resesi adalah 3 persen. Kalau dibandingkan negara-negara lain lebih kecil,” katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Jakarta, Rabu.

Sri Mulyani menuturkan probabilitas resesi Indonesia yang 3 persen tersebut jauh lebih kecil dibandingkan negara lain seperti Sri Lanka 85 persen, Eropa 55 persen dan Amerika Serikat 40 persen.

Probabilitas Indonesia juga lebih rendah dibandingkan Jepang 25 persen, China 25 persen, Taiwan 20 persen, Malaysia 20 persen, Vietnam 10 persen dan Filipina 8 persen.

Untuk AS yang memiliki probabilitas resesi mencapai 40 persen karena mengalami inflasi mencapai 9,1 persen dengan consumer confidence index hanya di level 50.

Untuk China mengalami pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 hanya 0,4 persen seiring penerapan lockdown di kuartal ini sehingga memiliki probabilitas resesi mencapai 25 persen.

Sri Mulyani menjelaskan probabilitas resesi terjadi karena adanya volatilitas global yang meningkat sehingga menimbulkan potensi pelemahan kinerja ekonomi negara-negara di seluruh dunia.

Dalam hal ini, kenaikan harga komoditas menjadi salah satu faktor sejak Januari 2022 hingga sekarang yang menimbulkan dinamika global luar biasa.

Kenaikan harga komoditas energi seperti minyak, gas dan mineral serta pangan telah mendorong kenaikan inflasi di berbagai negara terutama negara maju yang memang tidak mengatur harga energi dan pangan.

Lonjakan inflasi ini terjadi di Inggris yang mencapai 9,4 persen, AS 9,1 persen, Eropa 8,6 persen, Brasil 11,9 persen, Meksiko 8 persen dan India 7 persen.

Sedangkan China mengalami inflasi sebesar 2,5 persen, Jepang 2,4 persen dan Indonesia sebesar 4,4 persen.

Meski demikian, Sri Mulyani menegaskan Indonesia harus tetap waspada karena semua indikator ekonomi dunia mengalami pembalikan yaitu dari sebelumnya pemulihan menjadi pelemahan.

“Pada saat yang sama kita juga melihat kompleksitas dari kebijakan moneter di negara maju yang berpotensi menimbulkan imbas negatif ke negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia,” jelasnya.


Baca juga: Ketahanan ekonomi Indonesia di tengah potensi resesi dunia
Baca juga: BI pangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global jadi hanya 2,9 persen
Baca juga: IHSG akhir pekan ditutup melonjak, seiring redanya kekhawatiran resesi