Jakarta (ANTARA) - Founder KlinikDigital.org Devie Rahmawati mengajak masyarakat Indonesia, terutama netizen, untuk mengawal kasus penembakan antaranggota kepolisian Brigadir J dengan Bharada E sesuai dengan data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh.

"Akan menjadi bijak bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J dengan pikiran terbuka dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai dengan kompetensinya untuk mengumpulkan data-data objektif," kata Devie dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Saat ini, kata dia, penyelidikan kasus Brigadir J terus berlangsung dengan mengumpulkan fakta dan data yang sebenarnya. Bahkan, pengumpulan fakta dan data ini juga melibatkan Komnas HAM sebagai pihak eksternal.

Menurut Devie, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena banyak prasangka.

Berbagai prasangka yang menggiring opini publik, bagi Devie justru dapat memberikan dampak negatif bagi orang yang tidak bersalah dan mengaburkan kebenaran.

"Sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi justru mengaburkan kebenaran," ujarnya.

Pada hakikatnya, kata Devie, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas. Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai dengan keinginannya.

"Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban," ucapnya.

Di dunia digital, Devie mengatakan bahwa watak masyarakat Indonesia yang dahulu ramah, bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang.

Menurut Devie, watak baru masyarakat Indonesia di ruang digital ini sering berhadapan dengan fenomena cancel culture.

"Aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu," ucapnya.

Baca juga: Komnas HAM akan sandingkan keterangan sekuens waktu para ajudan
Baca juga: Komnas HAM periksa enam ajudan Irjen Ferdy Sambo secara terpisah