Pengamat nilai ekonomi Indonesia relatif baik tetapi harus waspada
26 Juli 2022 18:57 WIB
Suasana gedung perkantoran di ibu kota terlihat dari kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (14/6/2022). Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 akan mencapai level 5,1 persen atau turun 0,1 persen dari proyeksi sebelumnya, namun demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian menilai perekonomian nasional saat ini dalam keadaan relatif baik, tetapi harus tetap waspada atas potensi distorsi perekonomian.
"Kita mesti tetap waspada karena bisa saja distorsi perekonomian bisa masuk melalui tiga yaitu saluran harga minyak dunia, kenaikan harga pangan dan kenaikan suku bunga," kata Dzulfian saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut Dzulfian, ketiga hal tersebut harus diwaspadai karena berdampak kepada kebijakan fiskal, moneter dan juga stabilitas harga. Kenaikan harga minyak dunia, lanjut dia, akan berdampak pada besaran subsidi yang mesti diberikan pemerintah ke Bahan Bakar Minyak (BBM).
Baca juga: Standard Chartered: RI akan alami pemulihan lebih cepat tahun ini
"Semakin tinggi harga minyak dunia, khususnya pertalite dan solar bahkan pertamax, semakin besar pula subsidi yang mesti dikucurkan. Alhasil, semakin besar beban APBN," katanya.
Ia menambahkan kenaikan harga energi dan komoditas pangan, secara global juga akan mempengaruhi harga-harga komoditas di dalam negeri, sehingga akan memicu terjadinya inflasi yang tidak terkendali.
Dzulfian menyampaikan bahwa dampak kenaikan harga energi, komoditas pangan dan inflasi tersebut akan menambah beban bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah.
"Kenaikan harga-harga pangan akan memukul masyarakat di kalangan menengah bawah karena konsumsi mereka masih didominasi oleh barang-barang makanan dan minuman. Oleh karena itu, ketika harga barang-barang makanan naik maka masyarakat kecil yang paling terpukul," ucapnya.
Oleh karena itu, Dzulfian mengharapkan subsidi yang diberikan untuk membantu masyarakat dapat benar-benar tepat sasaran, agar daya beli tetap terjaga dan kinerja konsumsi tidak turun.
"Memberikan subsidi langsung ke masyarakat yang membutuhkan dan melakukan penyesuaian harga agar masyarakat menyesuaikan pemakaiannya sesuai kebutuhan dan daya beli mereka," katanya.
Baca juga: BI perkirakan pertumbuhan ekonomi RI bias ke bawah 4,9 persen di 2022
Selain itu, sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter menjadi opsi untuk menjaga stabilitas perekonomian, yang diikuti dengan upaya diversifikasi pangan dan energi, termasuk sumber pangan dan energi dari luar negeri.
Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan ekonomi Indonesia relatif baik di tengah situasi perekonomian global yang sedang tidak baik-baik saja karena meningkatnya harga komoditas energi dan pangan di pasar mancanegara.
Meski demikian, peningkatan harga tersebut juga berpotensi mendorong kenaikan inflasi yang membuat bank sentral berpotensi menaikkan suku bunga acuan. Kondisi itu bisa membuat terjadinya perlambatan kredit dan mengganggu potensi pertumbuhan kedepannya.
Baca juga: ADB naikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi 5,2 persen
Baca juga: Bank Dunia sebut Indonesia stabil jaga perekonomian kisaran 5 persen
"Kita mesti tetap waspada karena bisa saja distorsi perekonomian bisa masuk melalui tiga yaitu saluran harga minyak dunia, kenaikan harga pangan dan kenaikan suku bunga," kata Dzulfian saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut Dzulfian, ketiga hal tersebut harus diwaspadai karena berdampak kepada kebijakan fiskal, moneter dan juga stabilitas harga. Kenaikan harga minyak dunia, lanjut dia, akan berdampak pada besaran subsidi yang mesti diberikan pemerintah ke Bahan Bakar Minyak (BBM).
Baca juga: Standard Chartered: RI akan alami pemulihan lebih cepat tahun ini
"Semakin tinggi harga minyak dunia, khususnya pertalite dan solar bahkan pertamax, semakin besar pula subsidi yang mesti dikucurkan. Alhasil, semakin besar beban APBN," katanya.
Ia menambahkan kenaikan harga energi dan komoditas pangan, secara global juga akan mempengaruhi harga-harga komoditas di dalam negeri, sehingga akan memicu terjadinya inflasi yang tidak terkendali.
Dzulfian menyampaikan bahwa dampak kenaikan harga energi, komoditas pangan dan inflasi tersebut akan menambah beban bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah.
"Kenaikan harga-harga pangan akan memukul masyarakat di kalangan menengah bawah karena konsumsi mereka masih didominasi oleh barang-barang makanan dan minuman. Oleh karena itu, ketika harga barang-barang makanan naik maka masyarakat kecil yang paling terpukul," ucapnya.
Oleh karena itu, Dzulfian mengharapkan subsidi yang diberikan untuk membantu masyarakat dapat benar-benar tepat sasaran, agar daya beli tetap terjaga dan kinerja konsumsi tidak turun.
"Memberikan subsidi langsung ke masyarakat yang membutuhkan dan melakukan penyesuaian harga agar masyarakat menyesuaikan pemakaiannya sesuai kebutuhan dan daya beli mereka," katanya.
Baca juga: BI perkirakan pertumbuhan ekonomi RI bias ke bawah 4,9 persen di 2022
Selain itu, sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter menjadi opsi untuk menjaga stabilitas perekonomian, yang diikuti dengan upaya diversifikasi pangan dan energi, termasuk sumber pangan dan energi dari luar negeri.
Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan ekonomi Indonesia relatif baik di tengah situasi perekonomian global yang sedang tidak baik-baik saja karena meningkatnya harga komoditas energi dan pangan di pasar mancanegara.
Meski demikian, peningkatan harga tersebut juga berpotensi mendorong kenaikan inflasi yang membuat bank sentral berpotensi menaikkan suku bunga acuan. Kondisi itu bisa membuat terjadinya perlambatan kredit dan mengganggu potensi pertumbuhan kedepannya.
Baca juga: ADB naikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi 5,2 persen
Baca juga: Bank Dunia sebut Indonesia stabil jaga perekonomian kisaran 5 persen
Pewarta: Chairul Fajri
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: