Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti serta memperkuat respons bauran kebijakan moneter dengan memperkuat operasi moneter.

"Operasi moneter merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan SBN di pasar sekunder," kata Kepala Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Wira Kusuma dalam diskusi FMB9 yang disaksikan secara daring, Senin.

Wira menyampaikan BI juga berupaya menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah dan suku bunga untuk pengendalian inflasi, melalui intervensi ​​di pasar valas yang didukung dengan penguatan operasi moneter.

Wira mengatakan inflasi menjadi fokus utama saat ini karena terus meningkat di berbagai belahan dunia. Pendorong utamanya adalah kenaikan harga komoditas dan disrupsi rantai pasok.

Baca juga: BI : COVID-19 hingga gangguan rantai pasok sebabkan stagflasi dunia

Bahkan BI memprediksi Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga 75 basis poin pada bulan ini, seiring besarnya tekanan perekonomian di Amerika Serikat dan negara-negara maju.

"Pada Juli kami ramalkan ini (suku bunga The Fed) meningkat 75 basis poin. Ini menggambarkan kondisi pasar keuangan global ketidakpastiannya makin meningkat," ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa tingginya harga komoditas dan terkereknya inflasi di Amerika Serikat, juga berbagai belahan dunia, membawa tekanan bagi perekonomian global. Untuk itu, BI menilai bahwa pertumbuhan ekonomi global bisa turun hingga mencapai level 2,2 persen tahun ini.

Selain itu, terdapat pula tekanan karena kebijakan proteksionisme dari berbagai negara karena banyak negara yang melarang atau membatasi ekspor komoditas tertentu untuk mengamankan pasokan di dalam negeri. Terutama komoditas pangan, sehingga harga secara global mengalami kenaikan.

Wira menilai bahwa berbagai tekanan tersebut bisa meningkatkan risiko stagflasi. Di negara maju, lanjutnya, kondisi itu dapat direspons dengan peningkatan suku bunga acuan.

"Kondisinya, inflasi global meningkat, baik di negara maju maupun negara berkembang," ujarnya.

Namun, di tengah gempuran inflasi dan tekanan pada perekonomian global, BI memutuskan mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen dan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen serta suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.

"Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri," ucap Wira.

Baca juga: BI : pelemahan Rupiah relatif lebih baik dibandingkan negara tetangga

Di samping itu, bank sentral juga terus melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit konsumsi.

"BI juga memperluas QRIS antarnegara melalui akselerasi implementasi, piloting dengan penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal dengan negara-negara di Asia serta melaksanakan Pekan QRIS Nasional untuk pencapaian target 15 juta pengguna baru," ujarnya.

BI ikut memastikan operasionalisasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) khususnya Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) first mover berjalan lancar dan mempersiapkan implementasi second mover dengan target Desember 2022​.

"Serta memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerjasama dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya. Begitu juga bersama Kementerian Keuangan menyukseskan enam agenda prioritas jalur keuangan Presidensi Indonesia pada G20 tahun 2022," kata Wira.

Baca juga: Gubernur BI sebut desain konseptual rupiah digital sudah rampung

Baca juga: BI: Pertumbuhan kredit terus meningkat, capai 10,66 persen pada Juni