Ekonom: Kenaikan nilai tukar rupiah tidak ganggu postur APBN
22 Juli 2022 18:33 WIB
Petugas kasir menghitung mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (25/2/2019). Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan pasar spot Senin (25/2/2019) ditutup menguat Rp14.015 atau menguat 0,28 persen dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz menilai nilai tukar rupiah yang mulai fluktuatif diatas Rp15.000 per dolar AS tidak akan mengganggu postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022.
"Itu harusnya tidak mengganggu postur APBN yang baru. Jadi udah direalokasi pasti di budgetnya," ujar Irman saat dihubungi oleh Antara, Jumat.
Irman mengatakan adanya revisi postur APBN oleh pemerintah membuat anggaran telah disusun untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini. Menurutnya, kenaikan nilai rupiah malah membuat penerimaan negara menjadi lebih tinggi dibandingkan belanja negara.
"Jadi kalau nilai tukarnya depresiasi, penerimaannya akan lebih tinggi dari belanjanya," ujar Irman.
Irman menjelaskan kenaikan nilai tukar ini membuat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun penerimaan pajak naik. PNBP, lanjut dia, akan ditopang oleh komoditas seperti Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara seiring dengan tingginya harga di tingkat global.
Baca juga: Rupiah menguat seiring turunnya ekspektasi kenaikan bunga agresif Fed
"Karena kita menerima penerimaan dari sumber daya alam ya untuk non pajak," ujar Irman
Sedangkan, penerimaan pajak ditopang dari sektor pertambangan yang akan menerima keuntungan dari sisi ekspor.
"Kalau depresiasi rupiah, yang mereka ekspor lebih banyak bisa ditukarkan ke rupiah," ujar Irman.
Ia tidak memungkiri belanja negara tetap akan meningkat seiring dengan pembayaran utang luar negeri dan penyaluran subsidi energi maupun pangan oleh pemerintah. Namun, menurutnya apabila dihitung masih akan menghasilkan surplus.
"Tapi kalau kita net itu dampak totalnya ke APBN itu surplus," ujar Irman.
Baca juga: BI: Aliran modal asing keluar 2 miliar dolar AS memasuki triwulan III
Baca juga: Gubernur BI sebut desain konseptual rupiah digital sudah rampung
"Itu harusnya tidak mengganggu postur APBN yang baru. Jadi udah direalokasi pasti di budgetnya," ujar Irman saat dihubungi oleh Antara, Jumat.
Irman mengatakan adanya revisi postur APBN oleh pemerintah membuat anggaran telah disusun untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini. Menurutnya, kenaikan nilai rupiah malah membuat penerimaan negara menjadi lebih tinggi dibandingkan belanja negara.
"Jadi kalau nilai tukarnya depresiasi, penerimaannya akan lebih tinggi dari belanjanya," ujar Irman.
Irman menjelaskan kenaikan nilai tukar ini membuat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun penerimaan pajak naik. PNBP, lanjut dia, akan ditopang oleh komoditas seperti Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara seiring dengan tingginya harga di tingkat global.
Baca juga: Rupiah menguat seiring turunnya ekspektasi kenaikan bunga agresif Fed
"Karena kita menerima penerimaan dari sumber daya alam ya untuk non pajak," ujar Irman
Sedangkan, penerimaan pajak ditopang dari sektor pertambangan yang akan menerima keuntungan dari sisi ekspor.
"Kalau depresiasi rupiah, yang mereka ekspor lebih banyak bisa ditukarkan ke rupiah," ujar Irman.
Ia tidak memungkiri belanja negara tetap akan meningkat seiring dengan pembayaran utang luar negeri dan penyaluran subsidi energi maupun pangan oleh pemerintah. Namun, menurutnya apabila dihitung masih akan menghasilkan surplus.
"Tapi kalau kita net itu dampak totalnya ke APBN itu surplus," ujar Irman.
Baca juga: BI: Aliran modal asing keluar 2 miliar dolar AS memasuki triwulan III
Baca juga: Gubernur BI sebut desain konseptual rupiah digital sudah rampung
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: