“Sehingga nantinya, ketika pemerintah menerapkan pajak karbon secara penuh, masyarakat dapat menerima dengan baik," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (22/7).
Baca juga: Sri Mulyani: Tak ada kendala teknis dalam implementasi pajak karbon
"Penerapan pajak karbon dapat menimbulkan potensi kenaikan harga energi seperti BBM maupun listrik dengan bertambahnya ongkos produksi," imbuhnya.
Pemerintah semula akan menerapkan pemungutan pajak karbon mulai 1 Juli 2022 lalu, tetapi kembali menunda untuk kedua kalinya karena faktor ketidakpastian di tingkat global dan pertimbangan terkait kesiapan pelaku industri.
Baca juga: Sri Mulyani cari waktu tepat untuk terapkan pajak karbon
Jika melihat data Bank Dunia, sampai pertengahan 2021, sekitar 35 negara telah menerapkan pajak karbon dengan kebijakan pajak yang beragam. Finlandia misalnya, menerapkan tarif pajak berbeda terhadap emisi karbon dari kendaraan dan pembangkit listrik.
Kendati bentuknya berbeda-beda, pajak karbon di skala global umumnya dihitung dengan satuan dolar Amerika Serikat per ton COe2, tetapi ada juga negara yang menerapkan pengendalian emisi karbon melalui instrumen kebijakan pasar karbon atau Emission Trading System (ETS) seperti Tiongkok, Korea Selatan, Selandia Baru, beberapa negara anggota Uni Eropa, dan sejumlah negara bagian Amerika Serikat.
Di tahap awal nanti, Indonesia akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, dengan tarif Rp30.000 atau sekitar 2,1 dolar AS per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e) dengan pemungutan pajak pada emisi karbon yang melebihi cap atau batas maksimal.