Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan terus melakukan pencegahan eksploitasi awak kapal perikanan. Salah satu cara yang saat ini terus dikuatkan melalui perjanjian kerja laut (PKL) sebagai bukti hubungan kerja dengan pemilik kapal perikanan.
Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan DJPT Mansur mengatakan, PKL berguna untuk meminimalkan risiko adanya eksploitasi AKP. Selain itu juga memberikan perlindungan dan pemenuhan antara hak dan kewajiban AKP. Hingga 10 Juli 2022, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) mencatat sebanyak 82.282 awak kapal perikanan (AKP) telah memiliki PKL.
“Penerapan PKL ini juga memberikan jaminan sosial untuk AKP. Jaminan sosial akan melindungi AKP terhadap risiko kerja seperti kecelakaan kerja maupun kematian melalui BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya pada kegiatan Evaluasi Implementasi PKL dan Jaminan Sosial bagi AKP yang melibatkan pemerintah daerah dan seluruh pelabuhan perikanan di Indonesia, Rabu (20/7/2022).
Pada kegiatan tersebut Mansur juga mengungkapkan sebanyak 133.796 AKP telah menjadi peserta jaminan sosial maupun asuransi yang tersebar di 49 pelabuhan perikanan seluruh Indonesia.
“49 pelabuhan perikanan yang telah menyampaikan data, terdiri dari 22 unit pelaksana teknis (UPT) Pusat, 21 UPT Daerah, 5 pelabuhan perintis/SKPT, serta 1 pelabuhan umum. Kami berharap terus meningkat sehingga para AKP dapat terlindungi jiwa dan sosialnya,” imbuh Mansur.
Pada kegiatan yang sama, Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung Ady Candra menyampaikan, masih kerap terjadi kendala implementasi PKL di lapangan. Salah satunya, belum semua pemilik kapal perikanan teredukasi tentang pentingnya PKL.
“Perlu dilakukan sosialisasi yang masif dengan pendekatan persuasif. Pelaksanaannya bisa dilakukan bertahap berdasar ukuran kapal perikanan serta mengatur mekanisme transparansi dalam sistem pengupahan AKP,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini Hanafi mengatakan transparansi pengupahan perlu dipastikan khususnya yang menggunakan sistem bagi hasil. Kajian lebih lanjut perlu dilakukan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.
“Jika norma dalam undang-undang tersebut dirasa sudah tidak relevan atau perlu penyesuaian pengaturannya, mungkin perlu diusulkan untuk revisi terhadap ketentuan tersebut,” tambah Zaini.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan berbagai jaminan sosial harus diberikan kepada masyarakat kelautan dan perikanan. Hal ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.