Badung, Bali (ANTARA) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyebutkan bahwa biaya penanganan cuaca ekstrem bisa mencapai 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2050.

"Jumlah ini tentunya sangat signifikan," ucap Juda dalam Kegiatan Sampingan G20 Indonesia 2022 yang bertajuk "Scalling Up Green Finance in Indonesia"di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat.

Namun, sambung dia, bila dilakukan berbagai mitigasi sesuai dengan komitmen Indonesia dalam perjanjian Paris, biaya tersebut bisa berkurang menjadi hanya 4 persen dari PDB. Hal ini menjadikan semakin pentingnya kesadaran bahwa mendorong pembangunan ekonomi dan menjaga lingkungan harus dilakukan secara simultan.

Baca juga: Menkeu dan Gubernur Bank Sentral mulai pertemuan ketiga G20 2022

Juda menuturkan pertumbuhan ekonomi seringkali dicapai tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, terlebih lagi kelompok masyarakat bawah cenderung menjadi pihak yang paling rentan mengalami kerugian akibat degradasi lingkungan, misalnya udara, banjir, kekeringan, dan hilangnya akses ke sumber daya produksi.

Dari aspek ekonomi dan keuangan, apabila Indonesia tidak segera bergegas melakukan berbagai kebijakan untuk menuju ekonomi hijau maka dampaknya kepada ekonomi maupun terhadap sistem keuangan akan sangat signifikan.

Ia membeberkan, dampak pertama yakni Indonesia akan kehilangan kesempatan ekspor karena adanya hambatan ekspor terhadap produk yang tidak memenuhi persyaratan standar hijau.

"Ekspor kita juga akan tidak kompetitif karena semakin mahal akibat adanya pajak karbon dari negara pengimpor," tambahnya.

Baca juga: Sri Mulyani: Pertumbuhan ekonomi hijau harus ciptakan pekerjaan baru

Selanjutnya, ia menyampaikan dampak yang kedua adalah investasi rendah karbon seperti mobil listrik akan beralih ke negara lain yang telah memiliki kebijakan yang jelas tentang industri karbon.

Dengan demikian, kebijakan mengenai industri hijau termasuk mobil listrik bangunan hijau dan sebagainya memang sangat diperlukan.

Adapun dampak ketiga yaitu akses terhadap keuangan global menjadi terbatas karena preferensi investor keuangan kepada sektor keuangan hijau semakin besar, sehingga mereka lebih memprioritaskan kepada sektor yang hijau.

Oleh karena BI turut memberikan perhatian yang besar pada isu tersebut lantaran memang dampaknya kepada moneter cukup besar.

"Kalau ekspor itu turun tentu saja dampaknya kepada transaksi berjalan dan akses keuangan global. Jadi ini berdampak kepada stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan," jelas Juda.