Sumenep (ANTARA) - Abu Jamin (84 tahun) adalah generasi kedua pemimpin grup Pangkak di Desa Angon-Angon, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Madura.

Lelaki sepuh itu kini menjadi satu-satunya pemimpin grup Pangkak yang masih setia melestarikan seni dari suara mulut atau akapela itu.

Meskipun demikian, Bujamin, panggilan akrabnya, tidak tahu apa makna dari pangkak itu. Hanya saja, dari beberapa sumber menyebutkan bahwa pangkak berasal dari Bahasa Madura yang artinya memotong.

Pangkak memang berkaitan dengan memotong, yakni panen padi, yang di zaman dulu dipotong menggunakan ani-ani.

Kesenian Pangkak merupakan tradisi yang digelar masyarakat sebagai ungkapan syukur atas panen padi.

Menurut Bujamin, meskipun pola panen sudah berubah-ubah, seperti tidak menggunakan ani-ani, beberapa masyarakat tani di Desa Angon-Angon masih mau menggelar selamatan dengan menanggap Pangkak.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, seni itu mulai ditinggalkan oleh warga. Karena itu Grup "Pangkak Lambhering" yang dipimpin Bujamin hanya bermain ketika ada undangan-undangan khusus, baik dari warga maupun instansi pemerintah.

Ia mengaku prihatin karena saat ini generasi muda di desanya tidak ada yang tertarik belajar seni dari suara mulut itu. Meskipun demikian, ia berharap sebelum dirinya meninggalkan dunia, suatu saat ada anak muda yang mau meneruskan seni itu.

"Saya berharap seni ini terus berlanjut. Kalau ada yang mau belajar, kapanpun saya siap mengajari, asal umur saya masih ada," kata lelaki sepuh yang masih tampak sehat itu.

Bujamin mengaku tidak punya jawaban ketika ditanya bagaimana agar kesenian ini ada yang meneruskan. Ia hanya bercerita, satu-satunya pemain yang saat ini tergolong muda adalah Hamidan, berusia sekitar 55 tahun.

Hamidan sendiri juga mengaku tidak tahu bagaimana agar generasi muda di desanya mau melestarikan seni unik ini.

Baik Bujamin maupun Hamidan mengakui bahwa anak-anak mereka hingga kini belum ada yang tertarik untuk mempelajari seni Pangkak. Mereka juga mengaku tidak mungkin memaksa anak-anaknya untuk menyukai seni itu.

Bujamin mulai belajar seni Pangkak saat berusia sekitar 20 tahun. Kala itu, seni Pangkak menjadi alternatif aktivitas menyenangkan bagi anak muda.

Baca juga: Menangkar ayam bersuara merdu di Pulau Kangean

Baca juga: Merawat budaya macapat di Pulau Kangean agar tidak punah


Dari bertapa

Bujamin bercerita bahwa seni Pangkak itu bermula dari laku bertapa di Gua Lambhering yang dilakukan oleh Jinnik Subat. Tokoh yang lebih tua sekitar 10 tahun dari Bujamin itu ketika bertapa mendengar suara gaib yang sangat merdu.

Karena suara itu terdengar berulang-ulang, Jinnik kemudian memanggil temannya bernama Jama untuk ikut masuk ke dalam gua dan diminta mendengarkan suara indah yang kemudian menjadi cikal bakal seni Pangkak.

"Jinnik kemudian mengumpulkan teman-teman lainnya untuk membunyikan musik (vokal) yang didengarnya di gua itu. Sejak itulah musik Pangkak terus dimainkan saat musim panen padi," katanya.

Bujamin dan Hamidan mengaku tidak tahu bagaimana Jinnik mengaitkan musik itu dengan musim panen padi. Keduanya hanya meneruskan apa yang dipelajari dan dikerjakan oleh Jinnik sebagai pendahulunya. Kini Jinnik sudah meninggal. Karena itu tidak mudah untuk menggali informasi detail mengenai Pangkak ini.

Bahkan, untuk bunyi syairnya pun, Bujamin maupun Hamidan mengaku tidak tahu artinya. Mereka menyebut, syair dalam seni Pangkak sebagai bahasa gaib.

Pergelaran seni Pangkak biasanya melibatkan 10 hingga 12 orang. Seni itu dimainkan dengan seluruh pemain berdiri, bahkan seringkali mereka larut dalam gerakan tari bebas. Musik mulut itu mewakili suara gendang, gong, kenong, termasuk seruling.

"Dulu, kalau orang sudah suka bermain Pangkak, itu seperti orang gila. Mereka bermain dan menari seperti tidak sadar. Bahkan, kalau saya sendiri sedang sakit, kemudian ada yang mengajak pentas Pangkak, saya langsung sehat seketika," kata Bujamin, sambil tertawa.

Karena itu durasi permainan juga tidak bisa diukur dengan jam. Mereka biasanya bermain dari pagi sampai sore atau dari sore sampai malam.

Ditanya mengenai kesakralan musik itu, Bujamin mengaku tidak ada. Karena itu tidak ada konsekuensi yang kemudian menjadi mitos jika masyarakat petani tidak menggelar pertunjukan Pangkak seusai panen.

"Tidak ada. Ini hanya bentuk perayaan syukur saja karena padinya telah dipanen," katanya.

Bujamin dan kawan-kawan kini tidak perlu lagi berlatih untuk mengasah keterampilan berkesenian. Hal itu dianggap keterampilan bersuara sudah menjadi bagian yang menyatu dengan dirinya, sehingga jika harus tampil mendadak, antara pemusik satu dengan lainnya saling mengisi kekurangan masing-masing.

Sementara itu Camat Arjasa Husairi Husen mengatakan bahwa musik Pangkak itu ada dua jenis, yakni yang sakral dan Pangkak sawah untuk mengiringi panen. Grup Pangkak yang dipimpin Bujamin dan tinggal satu-satunya di Kangean itu hanya memainkan Pangkak sawah.

Ia mengakui kondisi seni tradisi itu memprihatinkan. Apalagi, Pangkak merupakan keterampilan kelompok, sehingga lebih sulit untuk proses regenerasi karena memerlukan pembinaan pada banyak orang. Hal itu berbeda dengan jenis kesenian yang menuntut keterampilan perorangan.

"Seni ini tergolong cerita tutur, yang pelakunya bisa seperti kesurupan. Entah ada kaitan dengan Bali atau tidak, Pangkak ini ada gerakan seperti Tari Kecak di Bali," katanya.

Demikian juga dari sisi aksesoris pakaian. Para pemain biasanya menggunakan baju putih dan sarung serta mengenakan udeng (penutup kepala).

Untuk pembinaan, ia mengaku berusaha mengundang Bujamin dan kawan-kawan untuk tampil di kantor kecamatan secara periodik.

Sebagaimana seni tradisional pada umumnya, menghidupkan Pangkak memang tidak mudah. Anak-anak muda kini tidak tertarik pada warisan masa lalu.

Melihat kekayaan alam Pulau Kangean, termasuk hasil laut dan pemandangan indahnya, menjadi potensi untuk pengembangan pariwisata di masa depan. Dari aspek seni pertunjukan, Pangkak sangat layak untuk disuguhkan kepada wisatawan, apalagi turis asing, jika bertandang ke Kangean.

Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi para pemangku kepentingan di Pulau Bekisar itu dan Kabupaten Sumenep pada umumnya, kecuali melestarikan.

Berbicara pelestarian, maka titik tumpunya adalah generasi muda. Ya, nasib seni Pangkak ada di tangan generasi muda. Perlu upaya ekstra keras agar kaum muda di Kangean mau mempelajari dan memainkan seni Pangkak.

Baca juga: Idul Adha di pulau terpencil di ujung timur Kabupaten Sumenep

Baca juga: Jejak China yang tersisa di Pulau Kangean