Peneliti CSIS: Penyusun RKUHP telah beri pengamanan demokrasi
7 Juli 2022 17:06 WIB
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Nicky Fahrizal ketika menyampaikan paparan dalam CSIS Media Briefing bertajuk “Dampak Rencana Pengesahan RKUHP terhadap Kebebasan Sipil” di kanal YouTube CSIS Indonesia, dipantau dari Jakarta, Kamis (7/7/2022). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Nicky Fahrizal menilai penyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah memberi ketentuan pengamanan demokrasi.
“Pasal penghinaan terhadap Presiden sudah dipagari dengan ketentuan-ketentuan yang memang tidak serta-merta bisa langsung diproses secara hukum,” ucap Nicky ketika menyampaikan paparan dalam CSIS Media Briefing bertajuk “Dampak Rencana Pengesahan RKUHP terhadap Kebebasan Sipil” di kanal YouTube CSIS Indonesia, dipantau dari Jakarta, Kamis.
Salah satu pasal yang Nicky pandang sebagai pengamanan demokrasi adalah Pasal 218 ayat (2) RKUHP yang menyatakan "tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri".
Lebih lanjut, Nicky juga memandang Pasal 220 ayat (2) RKUHP sebagai ketentuan yang mengamankan demokrasi. Pasal 220 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa "pengaduan sebagaimana dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
“Presiden harus melaporkan sendiri itu pagar atau jaringan pengaman untuk mengamankan kebebasan berpendapat,” ucap Nicky.
Baca juga: YLBHI minta Pemerintah dan DPR lakukan pembahasan terbuka RKUHP
Akan tetapi, tutur ia melanjutkan, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana norma tersebut diterapkan dalam penegakan hukum.
“Permasalahannya itu terletak pada penerapan normanya nanti, bukan pada konstitusionalitas suatu norma. Ini yang menjadi PR kita,” tuturnya.
Menurut dia, penting untuk memperhatikan adanya penghapusan tuntutan hukum apabila penyerangan terhadap martabat presiden atau wakil presiden dilakukan karena adanya kepentingan umum dan pembelaan diri.
Penafsiran terhadap norma tersebut harus sungguh-sungguh menjadi perhatian publik dan aparat penegak hukum.
“Bagaimana kritik yang dibangun adalah bukan kritik dalam artian serangan-serangan, melainkan benar-benar kritik yang konstruktif. Ini membutuhkan tafsir,” ucapnya.
Selain itu juga diperlukan penyelarasan daya jangkau pemahaman penegak hukum agar dapat membedakan kritik dengan penghinaan.
“Daya jangkau pemahaman ini juga menjadi permasalahan kita karena kritik bisa menjadi sangat satir, menjadi sangat tajam,” kata Nicky.
Baca juga: CSIS: RKUHP lindungi nilai agama, moralitas, dan keberagaman golongan
“Pasal penghinaan terhadap Presiden sudah dipagari dengan ketentuan-ketentuan yang memang tidak serta-merta bisa langsung diproses secara hukum,” ucap Nicky ketika menyampaikan paparan dalam CSIS Media Briefing bertajuk “Dampak Rencana Pengesahan RKUHP terhadap Kebebasan Sipil” di kanal YouTube CSIS Indonesia, dipantau dari Jakarta, Kamis.
Salah satu pasal yang Nicky pandang sebagai pengamanan demokrasi adalah Pasal 218 ayat (2) RKUHP yang menyatakan "tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri".
Lebih lanjut, Nicky juga memandang Pasal 220 ayat (2) RKUHP sebagai ketentuan yang mengamankan demokrasi. Pasal 220 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa "pengaduan sebagaimana dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
“Presiden harus melaporkan sendiri itu pagar atau jaringan pengaman untuk mengamankan kebebasan berpendapat,” ucap Nicky.
Baca juga: YLBHI minta Pemerintah dan DPR lakukan pembahasan terbuka RKUHP
Akan tetapi, tutur ia melanjutkan, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana norma tersebut diterapkan dalam penegakan hukum.
“Permasalahannya itu terletak pada penerapan normanya nanti, bukan pada konstitusionalitas suatu norma. Ini yang menjadi PR kita,” tuturnya.
Menurut dia, penting untuk memperhatikan adanya penghapusan tuntutan hukum apabila penyerangan terhadap martabat presiden atau wakil presiden dilakukan karena adanya kepentingan umum dan pembelaan diri.
Penafsiran terhadap norma tersebut harus sungguh-sungguh menjadi perhatian publik dan aparat penegak hukum.
“Bagaimana kritik yang dibangun adalah bukan kritik dalam artian serangan-serangan, melainkan benar-benar kritik yang konstruktif. Ini membutuhkan tafsir,” ucapnya.
Selain itu juga diperlukan penyelarasan daya jangkau pemahaman penegak hukum agar dapat membedakan kritik dengan penghinaan.
“Daya jangkau pemahaman ini juga menjadi permasalahan kita karena kritik bisa menjadi sangat satir, menjadi sangat tajam,” kata Nicky.
Baca juga: CSIS: RKUHP lindungi nilai agama, moralitas, dan keberagaman golongan
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022
Tags: