Jakarta (ANTARA) - Ketua Program Studi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Dr. Rose Mini Agoes Salim mengatakan bahwa "toxic parenting" atau pola pengasuhan yang keliru menyebabkan renggangnya hubungan antara anak dengan orangtua, dan menyebabkan anak menjadi tidak percaya diri saat dewasa.

Ia menjelaskan, renggangnya hubungan tersebut disebabkan sikap orangtua yang agresif, menekan, dan seolah paling mengerti atas anaknya. Namun hal itu justru membuat sang buah hati menjadi cemas, takut dan tidak percaya diri karena khawatir akan membuat kesalahan saat melakukan sebuah tindakan.

“Toxic parenting itu seperti orangtua yang lebih banyak memberikan tekanan kepada anak agar mau mengikuti apa yang diinginkan atau apa yang dikatakannya. Karena menurut mereka (orangtua) itu yang paling baik menentukan untuk anaknya,” kata Dr. Rose Mini kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

“Jadi sebetulnya kontrol begitu kuat terhadap apa yang dilakukan anak dan orangtua seolah-olah hanya memikirkan yang terbaik dari sisinya, bukan dari sisi anak. Sehingga anak tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa anak yang mengalami toxic parenting berpotensi menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan penakut. Anak tersebut juga tidak mengetahui bahwa mereka memiliki potensi yang tersimpan di dalam dirinya. Ketika sang anak dewasa, hal itu akan berdampak pada ketidakmampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipilih atau ditekuni, karena terbiasa diarahkan dan diatur secara agresif oleh orangtua.

“Kemampuan bertanggung jawab juga jadi melemah atau kemungkinan apa yang dilakukan bukan untuk menyelesaikan tanggung jawabnya tapi karena takut pada orangtuanya saja,” katanya.

Menurut Rose, orangtua perlu memahami dampak buruk toxic parenting dan menyesuaikan pola asuh berdasarkan usia anak. Orangtua juga perlu bersikap terbuka atas masukan dari anak dan membuka ruang diskusi untuk mencari solusi apabila anak sedang mengalami masalah.

“Makin besar dia makin mandiri dan bertanggung jawab terhadap masalah, dan juga yang dia ambil untuk solusi atas masalahnya, anak juga menjadi lebih bebas mengekspresikan diri, dan orangtua bisa memberikan kesempatan tersebut maka dia menjadi orang tua yang tidak toxic,“ katanya.

Rose juga bilang bahwa setiap anak menyimpan bakat yang bisa terbentuk secara alami maupun dibentuk oleh lingkungan. Untuk itu, ia berharap agar para orangtua bisa memberikan ruang kepada untuk mengekspresikan diri.

"Berikan kesempatan dia untuk mengekspresikan diri, tetapi di sisi lain tetap harus ada panduan dan koridor mana yang harus bisa dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anak,” ujarnya.

Psikolog Universitas Indonesia itu menambahkan, pola asuh memiliki dua sumbu yang perlu diperhatikan, yaitu kedekatan dan kontrol. Kedekatan anak dan orangtua berpengaruh kepada perkembangan dan pertumbuhan anak.

“Pada waktu seseorang anak merasa tidak dapat melakukan apa-apa karena tidak diizinkan lingkungannya maka nantinya dia akan mengalami banyak masalah dalam kehidupannya karena tidak bisa menentukan dan tidak bisa mengambil tindakan tertentu terhadap apa yang dia hadapi,” terangnya.

Di samping itu, orangtua yang abai dan selalu mengikuti kemauan anak juga berdampak buruk pada perkembangan anak.

“Tidak bisa dilepaskan begitu saja karena anak belum banyak punya jam terbang dalam kehidupannya, pengalamannya masih terbatas dan butuh orangtua untuk mengarahkan mereka. Nah, yang penting bagi orangtua memberikan stimulasi yang tepat sesuai dengan usia anak agar dia (anak) nantinya bisa menentukan sendiri apa yang harus dilakukan,” katanya.

Baca juga: Akui luka lampau di "Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa"

Baca juga: Ide rayakan Hari Keluarga Nasional bersama di rumah saja

Baca juga: Psikolog ajak orangtua isi libur dengan asah kecakapan hidup