IESR: Keuntungan dari batu bara agar digunakan untuk transisi energi
1 Juli 2022 23:18 WIB
Dokumentasi. Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (14/5/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)
Jakarta (ANTARA) - Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah agar memanfaatkan keuntungan batu bara untuk akselerasi transisi energi mengingat saat ini harga acuan batu bara telah menyentuh angka 342 dolar AS per ton.
"Keuntungan dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari sektor tambang batu bara bisa dialihkan sebagian untuk mendorong transisi energi dengan bertahap mengurangi ketergantungan sistem kelistrikan pada PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan," kata Manajer Program Tranformasi Energi IESR Deon Arinaldo dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
IESR menilai kebijakan DMO (domestic market obligation/kewajiban pasar domestik) batu bara telah menciptakan lapang tanding yang tidak seimbang untuk energi terbarukan. Jika pemerintah tidak menerapkan DMO, maka harga pembangkitan listrik dari PLTU batu bara dapat mencapai 14-16 sen per kWh apabila mengacu harga batu bara 324 dolar AS per ton.
Deon menegaskan bahwa tanpa dukungan dari regulasi, pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dibandingkan PLTU batu bara.
Menurutnya, kebijakan DMO membuat keekonomian pembangkit energi terdistorsi karena tidak berdasarkan biaya yang sebenarnya. Selain itu memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengakselerasi energi terbarukan yang lebih murah dan menguntungkan dalam jangka panjang.
Lebih lanjut Deon menjelaskan bahwa keekonomian pembangkit energi dihitung dari biaya investasi dan operasi diratakan selama umur pakai atau lifetime.
Jika membandingkan energi fosil dan energi terbarukan, harga investasi pembangkit energi terbarukan memang mahal di awal, namun biaya investasi akan menunjukkan tren penurunan yang dapat diprediksi dan diakselerasi dengan dukungan kebijakan yang tepat.
Sementara itu, energi fosil sangat tergantung dengan biaya operasional yang volatilitasnya sangat tinggi. Pemerintah perlu tetap memperhatikan dampak pada biaya pembangkitan listrik, sehingga tarif DMO tidak bisa dicabut begitu saja berhubung PLTU sudah terlanjur dominan di sistem kelistrikan.
IESR meminta pemerintah agar memensiunkan PLTU sebelum tahun 2050 dan diganti sepenuhnya dengan energi terbarukan, karena listrik PLTU menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
Baca juga: IESR sarankan modifikasi PLTU batu bara agar fleksibel memasok energi
Baca juga: IESR nilai arah transisi energi di Indonesia semakin jelas
Baca juga: IESR minta pemerintah hilangkan disparitas harga batu bara
"Keuntungan dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari sektor tambang batu bara bisa dialihkan sebagian untuk mendorong transisi energi dengan bertahap mengurangi ketergantungan sistem kelistrikan pada PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan," kata Manajer Program Tranformasi Energi IESR Deon Arinaldo dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
IESR menilai kebijakan DMO (domestic market obligation/kewajiban pasar domestik) batu bara telah menciptakan lapang tanding yang tidak seimbang untuk energi terbarukan. Jika pemerintah tidak menerapkan DMO, maka harga pembangkitan listrik dari PLTU batu bara dapat mencapai 14-16 sen per kWh apabila mengacu harga batu bara 324 dolar AS per ton.
Deon menegaskan bahwa tanpa dukungan dari regulasi, pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dibandingkan PLTU batu bara.
Menurutnya, kebijakan DMO membuat keekonomian pembangkit energi terdistorsi karena tidak berdasarkan biaya yang sebenarnya. Selain itu memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengakselerasi energi terbarukan yang lebih murah dan menguntungkan dalam jangka panjang.
Lebih lanjut Deon menjelaskan bahwa keekonomian pembangkit energi dihitung dari biaya investasi dan operasi diratakan selama umur pakai atau lifetime.
Jika membandingkan energi fosil dan energi terbarukan, harga investasi pembangkit energi terbarukan memang mahal di awal, namun biaya investasi akan menunjukkan tren penurunan yang dapat diprediksi dan diakselerasi dengan dukungan kebijakan yang tepat.
Sementara itu, energi fosil sangat tergantung dengan biaya operasional yang volatilitasnya sangat tinggi. Pemerintah perlu tetap memperhatikan dampak pada biaya pembangkitan listrik, sehingga tarif DMO tidak bisa dicabut begitu saja berhubung PLTU sudah terlanjur dominan di sistem kelistrikan.
IESR meminta pemerintah agar memensiunkan PLTU sebelum tahun 2050 dan diganti sepenuhnya dengan energi terbarukan, karena listrik PLTU menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
Baca juga: IESR sarankan modifikasi PLTU batu bara agar fleksibel memasok energi
Baca juga: IESR nilai arah transisi energi di Indonesia semakin jelas
Baca juga: IESR minta pemerintah hilangkan disparitas harga batu bara
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022
Tags: