Gubernur menyampaikan itu dalam Rapat Koordinasi Gubernur se-Sumatera di Pekanbaru, Riau, Kamis (30/6).
Padahal dalam beberapa kasus, kata dia, hutan bisa pula menjadi hambatan dalam pembangunan daerah. Banyak rencana pembangunan jalan sebagai urat nadi perekonomian di daerah yang tidak bisa dilaksanakan karena sebagian berada dalam kawasan hutan lindung.
"Dalam kondisi ini, tentu daerah penjaga hutan akan dirugikan. Namun jika ada kompensasi, maka bisa dicarikan solusi terhadap jalannya pembangunan di daerah," katanya.
Mahyeldi menilai carbon trade (perdagangan karbon) adalah solusi yang sangat adil bagi kedua belah pihak. Negara yang menjaga hutan dan negara industri yang tidak lagi memiliki hutan.
"Ini adalah perdagangan yang saling menguntungkan," katanya.
Apalagi, katanya, saat ini telah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Ia berharap aturan itu bisa menjadi dasar bagi Indonesia untuk bisa meminta kompensasi dari negara-negara di dunia atas hutan yang terus dijaga kelestariannya.
Gubernur Riau Syamsuar yang menjadi tuan rumah rakor gubernur se-Sumatera mengatakan usulan itu akan dicatat untuk menjadi rekomendasi bagi pemerintah pusat.
"Banyak usulan yang masuk dari pada gubernur se-Sumatera. Ini akan jadi rekomendasi kita pada pemerintah pusat," katanya.
Baca juga: Pemprov Aceh dan Papua Jajaki "Carbon Credit" Jadi Kompensasi Pelestarian Hutan
Baca juga: Sektor kehutanan ditargetkan sumbang 60 persen penurunan emisi karbon
Baca juga: Pemerintah Terbitkan Peraturan Tarif Kompensasi Penggunaan Kawasan Hutan
Baca juga: Indonesia luncurkan sistem penghitung emisi di Paris