Jakarta (ANTARA) - Penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara tepat sasaran dinilai menjadi solusi yang efektif untuk menekan beban keuangan negara akibat kenaikan harga minyak mentah yang membuat harga BBM maupun LPG di pasaran juga terkerek naik.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan subsidi seharusnya diberikan kepada orang yang membutuhkan bukan kepada produk (barang) sehingga lebih tepat sasaran. Ini membutuhkan proses panjang terkait database yang mumpuni sehingga subsidi juga lebih efisien.

"Itu bicara dalam konteks normal. Saat ini situasi tidak normal," kata Yustinus saat berbicara pada webinar Generating Stakeholders Support for Achieving Effectiveness of Fuel and LPG Subsidies yang digelar secara virtual di Jakarta, Rabu.

Selain Yustinus, hadir sebagai pembicara lainnya Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman, Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra dan pengamat BUMN Toto Pranoto.

Baca juga: Pertamina akan uji coba aplikasi untuk BBM Subsidi di empat kota Jabar

Menurut Yustinus, hingga akhir 2021 tidak pernah diramalkan perang akan terjadi antara Rusia dan Ukraina. Selain itu, tidak akan ada lonjakan harga tajam terkait komoditas termasuk minyak bumi dan dinamika kebijakan moneter di Amerika Serikat.

“Ini jadi background kenapa pemerintah dan DPR tetap mempertahankan subsidi dan kompensasi dalam rangka keselamatan rakyat itu hukum tertinggi. Terlepas diskusi dan lain-lain kita fokus ke perlindungan masyarakat itulah sebabnya APBN diupayakan jadi shock absorber,” ujarnya.

Tahun ini alokasi subsidi dengan asumsi harga ICP 100 dolar AS per barel sebesar Rp74,9 triliun dan kompensasi Rp324,5 triliun.

Sementara yang akan dibayarkan tahun ini alokasi anggaran yang disiapkan Rp275 triliun bergantung pada perkembangan harga global. Jika harga ICP di atas 100 dolar AS per barel atau di bawah, lanjut Yustinus, subsidi dan kompensasi akan disesuaikan.

“Dalam jangka pendek, prinsipnya pemerintah mau dukung,” katanya.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurahman memproyeksikan kuota Solar dan Pertalite tahun ini akan habis pada September atau Oktober 2022 jika tidak ada tindakan. Berdasarkan data BPH Migas, hingga 20 Juni 2022 realisasi penyaluran Solar mencapai 51,24 persen dari kuota tahun ini 15,1 juta Kiloliter (KL). Sedangkan realisasi penyaluran Pertalite mencapai 57,56 persen dari kuota sebelumnya yakni 23,05 juta KL.

Baca juga: Aplikasi MyPertamina bakal jadi syarat beli BBM bersubsidi

Salah satu cara mengendalikan penyaluran BBM subsidi dan penugasan yakni Solar dan Pertalite dengan memanfaatkan teknologi melalui aplikasi MyPertamina. Hal ini dilakukan karena pemerintah dan Pertamina masih konsisten mempertahankan harga BBM jenis Solar dan Pertalite serta LPG 3 Kg tidak naik di tengah harga minyak mentah global yang terus bertahan di atas 110 dolar AS per barel.

Saleh berharap sistem yang dibangun oleh Pertamina melalui MyPertamina bisa menjadi jalan keluar untuk bisa mengatur penyaluran subsidi. BPH Migas akan mengawal sistem MyPertamina.

"Bila seseorang sudah mengisi hari ini misalnya 60 liter itu, itu dia tidak bisa pergi ke SPBU lain sehingga konsumen betul-betul terkontrol. Kami juga terbitkan surat rekomendasi JBT (Jenis Bahan Bakar Tertentu) solar agar ada pengawasan kuat,” ujar dia.

Sementara itu, Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menuturkan Pertamina sebagai badan usaha penugasan mempunyai tanggung jawab secara korporasi untuk menjalankan tugas dengan baik.

Menurut Ega, tanggal 1 Juli 2022 adalah tahap registrasi bagi masyarakat kalangan bawah yang akan menggunakan Pertalite dan Solar, bukan merupakan pembatasan. Data akan dikoordinasikan untuk tahap awal, belum ada verifikasi. Pertamina masih mencocokkan unggahan STNK, pelat nomor kendaraan, foto kendaraan, dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang diunggah warga.

“Nanti akan dicocokkan benar nggak kendaraan ini dan lainnya. Belum validasi data itu valid atau belum kami baru gathering data kalau cocok, approve nanti masyarakat dapat QR Code melalui email,” jelas Ega.

Menurut pengamat BUMN Toto Pranoto, subsidi yang besar tidak hanya berdampak bagi negara tapi juga Pertamina. Kenaikan harga minyak global berdampak signifikan terhadap biaya pokok penjualan Pertamina sehingga mengalami kenaikan signifikan mencapai 41 persen.

“Dari sudut pandang Pertamina, piutang PSO perusahaan juga relatif besar, yaitu Rp5,87 trilliun sepanjang 2021 sehingga inisiatif pengurangan subsidi dapat mengurangi piutang PSO,” ujar Toto.