Jakarta (ANTARA) - Kuasa Presiden pada pengujian materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menegaskan Pasal 54 KUHAP secara jelas mengatur hak tersangka dan terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan.

"Pemerintah berpendapat bahwa dalil pemohon tidak berdasar hukum karena norma yang terkandung dalam Pasal 54 KUHAP sangat jelas mengatur hak tersangka dan terdakwa," kata kuasa Presiden sekaligus Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Dhahana Putra dalam sidang perkara Nomor 61/PUU/2022 yang disiarkan Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu.

Dhahana Putra mengemukakan hal itu ketika menanggapi dalil pemohon yang mengatakan bahwa pada praktiknya penyidik sering kali melarang penasihat hukum ikut serta mendampingi klien dalam pemeriksaan. Meskipun terkadang diperbolehkan, hal itu hanya sebatas mendengarkan saja atau bersifat pasif.

Dhahana menjelaskan bahwa pemberian hak tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan oleh KUHAP kepada tersangka atau terdakwa.

"Itu merupakan seperangkat hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum," jelas dia.

Secara umum, kata dia, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 telah menetapkan hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk diterapkan di Indonesia, ketentuan yang tercantum di dalamnya belum memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Padahal, kata dia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sewajarnya dimiliki oleh negara hukum, khususnya mengenai bantuan hukum dalam penyidikan atau penuntut umum.

Gugatan uji materi Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 diajukan oleh 12 orang pemohon yang berprofesi sebagai advokat.

Para pemohon menganggap Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan menimbulkan ketidakpastian hukum sepanjang pasal tersebut dimaknai tidak termasuk saksi dan terperiksa.

Dalam petitumnya, 12 pemohon menyampaikan empat poin kepada MK yakni mengabulkan permohonan pengujian materi untuk keseluruhannya, menyatakan bahwa Bab VI dan Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk saksi dan terperiksa.

Berikutnya, menyatakan Bab VI Pasal 54 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk saksi dan terperiksa, serta memerintahkan putusan tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Baca juga: LPSK jamin pelindungan saksi pengeroyokan anggota TNI/Polri di Blok M

Baca juga: KPPPA: Cegah anak jadi pelaku tindak pidana hindari berhadapan hukum