MA: Terjadi disparitas pemidanaan akibat multitafsir pasal narkotika
28 Juni 2022 11:38 WIB
Tangkapan layar Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin ketika memberi pidato kunci dalam acara diseminasi penelitian bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang disiarkan di kanal YouTube IJRS TV, dipantau dari Jakarta, Selasa (28/6/2022). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin mengatakan terjadi disparitas pemidanaan atau perbedaan penjatuhan hukuman pidana akibat pasal yang multitafsir di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya tentang tindak pidana peredaran gelap dan penyalahguna narkotika.
“Tidak jarang, penerapan kedua pasal ini berbeda-beda, sering tertukar satu dengan yang lain. Kesimpangsiuran tafsir pada kedua pasal ini menggambarkan fenomena inkonsistensi penerapan hukum yang mencederai kepastian hukum,” kata Syarifuddin.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi pidato kunci dalam acara diseminasi penelitian bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang disiarkan di kanal YouTube IJRS TV, dipantau dari Jakarta, Selasa.
Baca juga: Anggota DPR: Revisi UU Narkotika harus perhatikan perlindungan saksi
Adapun pasal yang dimaksud Syarifuddin adalah Pasal 111 dan Pasal 112 di dalam UU Narkotika yang memuat ketentuan pidana bagi seseorang yang memiliki atau menguasai narkotika, serta Pasal 127 yang memuat ketentuan mengenai pengguna narkotika.
“Sebagai contoh, jika seseorang memenuhi unsur penyalahgunaan narkotika pada Pasal 127 UU Narkotika, maka otomatis ia telah memenuhi unsur memiliki atau menguasai narkotika pada Pasal 111 atau 112 UU Narkotika,” ucap Syarifuddin.
Kedua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang jauh berbeda. Pada Pasal 111 dan 112, pidana penjara paling lama adalah 20 tahun, sedangkan pada Pasal 127, pidana penjara paling lama adalah 4 tahun bagi pengguna narkotika golongan I.
Baca juga: Kepala BNN dorong penguatan tim asesmen terpadu di revisi UU Narkotika
Lebih lanjut, Pasal 127 memuat pengaturan apabila pengguna terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka pengguna wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
“Kedua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang jauh berbeda sehingga ketidakpastian hukum akhirnya bermuara pada ketidakadilan,” ucapnya.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Baca juga: Kepala BNN dorong pengaturan NPS dalam revisi UU Narkotika
Surat Edaran tersebut memperkenankan hakim untuk memutus pidana di bawah ancaman pidana minimum selama fakta hukum di persidangan menunjukkan terdakwa adalah penyalahguna narkotika.
“Hanya saja solusi ini belum menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh karena terhadap terdakwa tetap dinyatakan terbukti melakukan Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika sehingga peluang untuk menjatuhkan rehabilitasi menjadi tertutup,” ucapnya.
Hal inilah yang lantas mengakibatkan disparitas pemidanaan atau perbedaan penjatuhan hukuman pidana terhadap perkara yang memiliki karakteristik serupa, paparnya.
“Disparitas pemidanaan juga bertolak belakang dari tujuan hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan,” kata Syarifuddin.
“Tidak jarang, penerapan kedua pasal ini berbeda-beda, sering tertukar satu dengan yang lain. Kesimpangsiuran tafsir pada kedua pasal ini menggambarkan fenomena inkonsistensi penerapan hukum yang mencederai kepastian hukum,” kata Syarifuddin.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi pidato kunci dalam acara diseminasi penelitian bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang disiarkan di kanal YouTube IJRS TV, dipantau dari Jakarta, Selasa.
Baca juga: Anggota DPR: Revisi UU Narkotika harus perhatikan perlindungan saksi
Adapun pasal yang dimaksud Syarifuddin adalah Pasal 111 dan Pasal 112 di dalam UU Narkotika yang memuat ketentuan pidana bagi seseorang yang memiliki atau menguasai narkotika, serta Pasal 127 yang memuat ketentuan mengenai pengguna narkotika.
“Sebagai contoh, jika seseorang memenuhi unsur penyalahgunaan narkotika pada Pasal 127 UU Narkotika, maka otomatis ia telah memenuhi unsur memiliki atau menguasai narkotika pada Pasal 111 atau 112 UU Narkotika,” ucap Syarifuddin.
Kedua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang jauh berbeda. Pada Pasal 111 dan 112, pidana penjara paling lama adalah 20 tahun, sedangkan pada Pasal 127, pidana penjara paling lama adalah 4 tahun bagi pengguna narkotika golongan I.
Baca juga: Kepala BNN dorong penguatan tim asesmen terpadu di revisi UU Narkotika
Lebih lanjut, Pasal 127 memuat pengaturan apabila pengguna terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka pengguna wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
“Kedua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang jauh berbeda sehingga ketidakpastian hukum akhirnya bermuara pada ketidakadilan,” ucapnya.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah memberlakukan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Baca juga: Kepala BNN dorong pengaturan NPS dalam revisi UU Narkotika
Surat Edaran tersebut memperkenankan hakim untuk memutus pidana di bawah ancaman pidana minimum selama fakta hukum di persidangan menunjukkan terdakwa adalah penyalahguna narkotika.
“Hanya saja solusi ini belum menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh karena terhadap terdakwa tetap dinyatakan terbukti melakukan Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika sehingga peluang untuk menjatuhkan rehabilitasi menjadi tertutup,” ucapnya.
Hal inilah yang lantas mengakibatkan disparitas pemidanaan atau perbedaan penjatuhan hukuman pidana terhadap perkara yang memiliki karakteristik serupa, paparnya.
“Disparitas pemidanaan juga bertolak belakang dari tujuan hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan,” kata Syarifuddin.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: