Telaah
Tentang kritik Taufik Hidayat untuk bulu tangkis tunggal putra
Oleh Jafar M Sidik
27 Juni 2022 15:50 WIB
Pebulu tangkis tunggal putra Denmark Viktor Axelsen melakukan selebrasi usai mengalahkan tunggal putra China Zhao Jun Peng dalam final Indonesia Open 2022 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (19/6/2022). Viktor Axelsen berhasil menjadi juara usai menang 21-9, 21-10. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nym. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)
Jakarta (ANTARA) - Bagi yang tak terbiasa menghadapi kritik, kalimat kritis dari orang-orang yang memiliki rekam jejak jelas dan berprestasi tinggi seperti pebulu tangkis Taufik Hidayat pun akan terasa menyakitkan.
Belum lama ini salah satu dari dua tunggal putra Indonesia yang mempersembahkan medali emas Olimpiade itu mengkritik performa tunggal putra, tak lama setelah tunggal putra Indonesia gagal mendapatkan gelar dari Indonesia Masters dan Indonesia Open yang diadakan beberapa hari lalu di Jakarta.
Taufik menyoroti ketidakkonsistenan pemain-pemain tunggal putra Indonesia sehingga beberapa kali gagal mendapatkan hasil terbaik pada babak atau turnamen elite bulu tangkis.
Baca juga: Kalah lagi dari Axelsen, Ginting: Tiap pemain ada masanya
Tunggal putra Indonesia memang belum begitu banyak berbicara belakangan tahun ini, terutama dalam tiga turnamen Super 1000, Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.
Dalam All England yang merupakan satu dari tiga turnamen Super 1000, Indonesia terakhir kali menjuarai tunggal putra pada 1994 lewat Hariyanto Arbi.
Sekalipun tak pernah menjuarai turnamen ini, Taufik Hidayat menjadi satu dari tiga pebulu tangkis yang mencapai final All England pasca 1994, masing-masing pada 1999 dan 2000.
Dalam kurun 1994-2022, Indonesia empat kali mencapai final All England yang dua di antaranya dicapai Taufik, sedangkan dua lainnya dijejak Hariyanto Arbi pada 1995 dan Budi Santoso pada 2002.
Jadi, selama satu dekade terakhir, tak ada tunggal putra Indonesia yang mencapai final turnamen yang membesarkan nama Rudi Hartono itu yang adalah legenda bulu tangkis Indonesia.
Pun dalam Indonesia Open, Indonesia paceklik gelar tunggal putra sejak Simon Santoso menjuarainya pada 2012. Hanya pada China Open tunggal putra kita sempat berjaya ketika Anthony Sinisuka Ginting menjuarainya pada 2018.
Baca juga: Tuan rumah habis di Indonesia Open 2022 karena kelelahan, kata Rionny
Situasi sama terjadi pada Olimpiade. Sejak bulu tangkis masuk agenda Olimpiade pada 1992, baru dua tunggal putra Indonesia yang menjuarainya, Pertama, Alan Budikusama di Barcelona dan kedua, Taufik Hidayat di Athena 2004.
Dalam kejuaraan dunia pun begitu. Indonesia terakhir kali mempersembahkan medali emas kejuaraan dunia pada 2005, juga dari Taufik. Taufik pula menjadi tunggal putra Indonesia terakhir yang mencapai final turnamen ini pada 2010.
Taufik memang tak pernah menjuarai All England, namun dia konsisten berada di puncak untuk menyaingi jagoan-jagoan bulu tangkis lainnya dari negara lain.
Dengan resume seperti itu, tak ada alasan menyebut Taufik nyinyir. Justru, dia terlihat mencintai dan mengkhawatirkan performa tunggal putra yang memang harus disentil karena sudah begitu lama tak banyak berbicara di ajang elite bulu tangkis.
Akan lain persoalannya jika Taufik tak pernah memenangkan apa pun atau tak punya rekam jejak bagus dalam bulu tangkis.
Justru bulu tangkis Indonesia membutuhkan suara kritis Taufik karena akan lebih bermanfaat menyimak kalimat pedas dari seorang maestro ketimbang berpuas diri tatkala faktanya banyak hal yang harus dibenahi.
Baca juga: Axelsen wujudkan mimpi juarai Indonesia Open 2022 di Istora
Sudah terlalu lama
Beberapa kalangan menilai Taufik bisa berkata keras seperti itu karena pada masa jayanya kompetisi bulu tangkis tidak sengit seperti saat ini.
Tak terlalu salah, tapi pertanyaannya, mengapa atlet-atlet negara lain bisa bertahan dalam kompetisi yang lebih sengit itu? Mengapa negara kecil seperti Denmark atau negara yang sejak lama tak masuk kategori kuat dalam bulu tangkis seperti Jepang dan India bisa menyeruak kembali?
Denmark hanya berpenduduk 5,8 juta orang sehingga bagai bumi dan langit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk China atau Indonesia. Tapi negara kecil ini konsisten melahirkan tunggal putra yang konsisten tampil di puncak kompetisi.
Salah satunya adalah tunggal putra nomor satu dunia, Viktor Axelsen. Atlet bulu tangkis yang memiliki tinggi badan 194 cm ini sudah menjuarai semua turnamen bergengsi, termasuk kejuaraan dunia dan Olimpiade.
Selama separuh tahun ini Axelsen hanya sekali kalah dalam 30 pertandingan, sementara dari 590 kali bermain selama kariernya sejauh ini, dia sudah memenangkan 450 pertandingan. Dia juga masih berstatus juara All England dan Olimpiade, serta baru saja menjuarai Indonesia Open 2022.
Axelsen adalah produk sebuah lingkungan bulu tangkis yang menemukan formula tepat untuk tempat dan suasana unik yang berbeda dari misalnya China yang memiliki 100 juta pemain bulu tangkis.
Baca juga: Jojo tersingkir dari Indonesia Open 2022 karena kurang sabar
Berbeda dari China yang surplus talenta, Denmark menekankan kualitas karena tak memiliki kemewahan dalam jumlah talenta yang bisa dijaring.
Mengutip laporan majalah Forbes setahun lalu, Axelsen menyukai sistem Denmark di mana intensitas dan kualitas menjadi bagian terpenting dalam latihan. Latihan itu sendiri memasukkan unsur umpan balik yang intensif agar bisa terus mengatasi kelemahan, menambal kekurangan, dan meningkatkan keterampilan diri.
Denmark juga mengembangkan konsep klaster di mana lingkungan, khususnya sistem klub membuat atlet bisa berinteraksi dan bersaing dengan semua jenis pemain, termasuk pemain mapan. Indonesia juga melakukan hal seperti ini.
Mereka juga mengembangkan apa yang disebut "psikologi positif" yang mendorong atlet fokus kepada lapangan dan kesediaan menikmati pertandingan setinggi apa pun levelnya.
Axelsen dan pebulu tangkis Denmark lainnya digembleng dalam atmosfer di mana semua orang harus menyukai apa yang dilakukannya agar performa bisa terus optimal. Mereka juga dipaksa oleh sistem untuk memiliki komitmen yang kuat.
Formula Denmark ini memang belum tentu ampuh untuk Indonesia atau sistem bulu tangkis lainnya, mengingat setiap negara dan masyarakat memiliki budaya, kebiasaan dan lingkungan yang khas.
Baca juga: Kento Momota kesal langsung kalah di depan fansnya di Istora
Namun formula itu sukses menempa mental pemain sehingga bisa konsisten dalam setiap laga seperti diperlihatkan Axelsen selama ini.
Persoalan mental ini pula yang disinggung Taufik Hidayat ketika menyentil performa tunggal putra Indonesia belakangan tahun ini.
Tapi faktor mental acap tak timbul otomatis dari diri atlet karena membutuhkan pula faktor di luar atlet, khususnya pelatih dan keseluruhan sistem yang mengitari atlet. Axelsen mengakui peran instrumental pelatih dan sistem secara keseluruhan seperti ini.
Dalam kaitan itu pula, kritik Taufik Hidayat semestinya tak hanya mengusik pelatih tunggal putra, namun juga keseluruhan sistem bulu tangkis.
Lagi pula, kegagalan tunggal putra dalam Indonesia Masters dan Indonesia Open tahun ini, ditambah sudah terlalu lama tidak menggapai lagi sukses All England, kejuaraan dunia dan Olimpiade, semestinya cambuk untuk segera mengembalikan tunggal putra Indonesia ke tempat tertinggi kompetisi.
Baca juga: BWF umumkan penambahan jumlah turnamen periode 2023-2026
Belum lama ini salah satu dari dua tunggal putra Indonesia yang mempersembahkan medali emas Olimpiade itu mengkritik performa tunggal putra, tak lama setelah tunggal putra Indonesia gagal mendapatkan gelar dari Indonesia Masters dan Indonesia Open yang diadakan beberapa hari lalu di Jakarta.
Taufik menyoroti ketidakkonsistenan pemain-pemain tunggal putra Indonesia sehingga beberapa kali gagal mendapatkan hasil terbaik pada babak atau turnamen elite bulu tangkis.
Baca juga: Kalah lagi dari Axelsen, Ginting: Tiap pemain ada masanya
Tunggal putra Indonesia memang belum begitu banyak berbicara belakangan tahun ini, terutama dalam tiga turnamen Super 1000, Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.
Dalam All England yang merupakan satu dari tiga turnamen Super 1000, Indonesia terakhir kali menjuarai tunggal putra pada 1994 lewat Hariyanto Arbi.
Sekalipun tak pernah menjuarai turnamen ini, Taufik Hidayat menjadi satu dari tiga pebulu tangkis yang mencapai final All England pasca 1994, masing-masing pada 1999 dan 2000.
Dalam kurun 1994-2022, Indonesia empat kali mencapai final All England yang dua di antaranya dicapai Taufik, sedangkan dua lainnya dijejak Hariyanto Arbi pada 1995 dan Budi Santoso pada 2002.
Jadi, selama satu dekade terakhir, tak ada tunggal putra Indonesia yang mencapai final turnamen yang membesarkan nama Rudi Hartono itu yang adalah legenda bulu tangkis Indonesia.
Pun dalam Indonesia Open, Indonesia paceklik gelar tunggal putra sejak Simon Santoso menjuarainya pada 2012. Hanya pada China Open tunggal putra kita sempat berjaya ketika Anthony Sinisuka Ginting menjuarainya pada 2018.
Baca juga: Tuan rumah habis di Indonesia Open 2022 karena kelelahan, kata Rionny
Situasi sama terjadi pada Olimpiade. Sejak bulu tangkis masuk agenda Olimpiade pada 1992, baru dua tunggal putra Indonesia yang menjuarainya, Pertama, Alan Budikusama di Barcelona dan kedua, Taufik Hidayat di Athena 2004.
Dalam kejuaraan dunia pun begitu. Indonesia terakhir kali mempersembahkan medali emas kejuaraan dunia pada 2005, juga dari Taufik. Taufik pula menjadi tunggal putra Indonesia terakhir yang mencapai final turnamen ini pada 2010.
Taufik memang tak pernah menjuarai All England, namun dia konsisten berada di puncak untuk menyaingi jagoan-jagoan bulu tangkis lainnya dari negara lain.
Dengan resume seperti itu, tak ada alasan menyebut Taufik nyinyir. Justru, dia terlihat mencintai dan mengkhawatirkan performa tunggal putra yang memang harus disentil karena sudah begitu lama tak banyak berbicara di ajang elite bulu tangkis.
Akan lain persoalannya jika Taufik tak pernah memenangkan apa pun atau tak punya rekam jejak bagus dalam bulu tangkis.
Justru bulu tangkis Indonesia membutuhkan suara kritis Taufik karena akan lebih bermanfaat menyimak kalimat pedas dari seorang maestro ketimbang berpuas diri tatkala faktanya banyak hal yang harus dibenahi.
Baca juga: Axelsen wujudkan mimpi juarai Indonesia Open 2022 di Istora
Sudah terlalu lama
Beberapa kalangan menilai Taufik bisa berkata keras seperti itu karena pada masa jayanya kompetisi bulu tangkis tidak sengit seperti saat ini.
Tak terlalu salah, tapi pertanyaannya, mengapa atlet-atlet negara lain bisa bertahan dalam kompetisi yang lebih sengit itu? Mengapa negara kecil seperti Denmark atau negara yang sejak lama tak masuk kategori kuat dalam bulu tangkis seperti Jepang dan India bisa menyeruak kembali?
Denmark hanya berpenduduk 5,8 juta orang sehingga bagai bumi dan langit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk China atau Indonesia. Tapi negara kecil ini konsisten melahirkan tunggal putra yang konsisten tampil di puncak kompetisi.
Salah satunya adalah tunggal putra nomor satu dunia, Viktor Axelsen. Atlet bulu tangkis yang memiliki tinggi badan 194 cm ini sudah menjuarai semua turnamen bergengsi, termasuk kejuaraan dunia dan Olimpiade.
Selama separuh tahun ini Axelsen hanya sekali kalah dalam 30 pertandingan, sementara dari 590 kali bermain selama kariernya sejauh ini, dia sudah memenangkan 450 pertandingan. Dia juga masih berstatus juara All England dan Olimpiade, serta baru saja menjuarai Indonesia Open 2022.
Axelsen adalah produk sebuah lingkungan bulu tangkis yang menemukan formula tepat untuk tempat dan suasana unik yang berbeda dari misalnya China yang memiliki 100 juta pemain bulu tangkis.
Baca juga: Jojo tersingkir dari Indonesia Open 2022 karena kurang sabar
Berbeda dari China yang surplus talenta, Denmark menekankan kualitas karena tak memiliki kemewahan dalam jumlah talenta yang bisa dijaring.
Mengutip laporan majalah Forbes setahun lalu, Axelsen menyukai sistem Denmark di mana intensitas dan kualitas menjadi bagian terpenting dalam latihan. Latihan itu sendiri memasukkan unsur umpan balik yang intensif agar bisa terus mengatasi kelemahan, menambal kekurangan, dan meningkatkan keterampilan diri.
Denmark juga mengembangkan konsep klaster di mana lingkungan, khususnya sistem klub membuat atlet bisa berinteraksi dan bersaing dengan semua jenis pemain, termasuk pemain mapan. Indonesia juga melakukan hal seperti ini.
Mereka juga mengembangkan apa yang disebut "psikologi positif" yang mendorong atlet fokus kepada lapangan dan kesediaan menikmati pertandingan setinggi apa pun levelnya.
Axelsen dan pebulu tangkis Denmark lainnya digembleng dalam atmosfer di mana semua orang harus menyukai apa yang dilakukannya agar performa bisa terus optimal. Mereka juga dipaksa oleh sistem untuk memiliki komitmen yang kuat.
Formula Denmark ini memang belum tentu ampuh untuk Indonesia atau sistem bulu tangkis lainnya, mengingat setiap negara dan masyarakat memiliki budaya, kebiasaan dan lingkungan yang khas.
Baca juga: Kento Momota kesal langsung kalah di depan fansnya di Istora
Namun formula itu sukses menempa mental pemain sehingga bisa konsisten dalam setiap laga seperti diperlihatkan Axelsen selama ini.
Persoalan mental ini pula yang disinggung Taufik Hidayat ketika menyentil performa tunggal putra Indonesia belakangan tahun ini.
Tapi faktor mental acap tak timbul otomatis dari diri atlet karena membutuhkan pula faktor di luar atlet, khususnya pelatih dan keseluruhan sistem yang mengitari atlet. Axelsen mengakui peran instrumental pelatih dan sistem secara keseluruhan seperti ini.
Dalam kaitan itu pula, kritik Taufik Hidayat semestinya tak hanya mengusik pelatih tunggal putra, namun juga keseluruhan sistem bulu tangkis.
Lagi pula, kegagalan tunggal putra dalam Indonesia Masters dan Indonesia Open tahun ini, ditambah sudah terlalu lama tidak menggapai lagi sukses All England, kejuaraan dunia dan Olimpiade, semestinya cambuk untuk segera mengembalikan tunggal putra Indonesia ke tempat tertinggi kompetisi.
Baca juga: BWF umumkan penambahan jumlah turnamen periode 2023-2026
Copyright © ANTARA 2022
Tags: