Jakarta (ANTARA) - Kuliah Umum ECI (KUE) yang digagas oleh Enterpreneur Club Indonesia (ECI) menyimpulkan bahwa Society 5.0 adalah isu peradaban, bukan sekedar isu teknologi digital.
Dikutip dari siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Minggu, acara tersebut menampilkan Prof. Teddy Mantoro (Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Sampoerna dan Senior Member IEEE), Riri Satria (Founder dan CEO Value Alignment Advisory, Komisaris PT. Jakarta International Container Terminal, dab Dosen Ilmu Komputer Universitas Indonesia), Alva Erwin (CEO Cakrawala.id dab Dosen Teknologi Informasi Swiss German University), serta Kris Moerwanto (pengamat perilaku media sosial).
Dalam acara itu, Prof. Teddy Mantoro menyampaikan kesiapan Indonesia menghadapi era Society 5.0 dari sisi sumberdaya manusia. Dia mengatakan bahwa ternyata jumlah ahli teknologi informasi dan digital yang tersedia di negeri ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan yang dibutuhkan.
Baca juga: Wapres dorong umat Islam siap hadapi era 5.0
“Ini pekerjaan rumah yang besar bagi semua pihak, agar Indonesia tidak menjadi penonton di era Society 5.0 ini. Ada isu-isu makro yang segera harus dibereskan, termasuk perangkat regulasi, supaya Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dan sanggup bersaing dalam era Society 5.0 ini,” katanya.
Sementara itu Riri Satria menjelaskan bahwa istilah society dan industry itu berbeda walau terdapat irisannya. Menurutnya, industrial revolution atau industry adalah tatanan industri dan ekonomi, sementara itu society adalah tatanan peradaban.
Lebih lanjut dia menjelaskan, saat ini dunia sedang berada dalam era industrial revolution 4.0 serta Society 5.0 yang dikenal dengan istilah smart society.
“Dengan demikian, jika kita membahas tentang Society 5.0 maka ruang lingkupnya lebih luas jika dibandingkan Industry 4.0. Society 5.0 harus dilihat sebagai sesuatu yang sangat holistik karena ini adalah isu peradaban. Kita tidak bisa mengkerdilkan isu Society 5.0 hanya sebatas teknologi digital seperti Internet of Things (IoT), artificial intelegence termasuk di dalamnya machine learning, blockchain serta turunannya seperti cryptocurrency serta non-fungible token (NFT), serta perkembangan teranyar, metaverse. Society 5.0 tidak hanya itu,” jelas Riri.
“Ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu budaya, bahkan filsafat harus ikut mengawal bahkan mengisi pembentukan society5.0. Jangan sampai semua aspek hidup kita diatur oleh algoritma yang dijalankan mesin," imbuhnya.
Baca juga: Anggota DPR: Society 5.0 jadi peluang bagi pengembang majukan desa
Riri juga menjelaskan keterkaitan antara Society 5.0 dengan Sustainable Development Goals (SDG) yang sedang digagas di dunia saat ini, berupa 17 tujuan pembangunan untuk kesejahteraan umat manusia di dunia ini, serta humanities revolution 4.0 yang dikenal dengan istilah digital human.
Narasumber berikutnya, Alva Erwin menjelaskan lebih spesifik teknologi-teknologi baru yang menjadi jantung perubahan menuju Society 5.0.
Ketika menjelaskan tentang blockchain, Alva Erwin mengatakan bahwa teknologi blockchain ini sesungguhnya bukan hanya sekedar teknologi, melainkan juga sebuah perubahan paradigma, bahkan sebagai budaya baru, di mana terjadi desentralisasi, hilangnya intermediary, serta munculnya trusted social contract yang disepakati bersama. Cryptocurrency serta NFT adalah dua bentuk dari penetapan teknologi blockchain ini.
Di sisi lain, Kris Moerwanto dalam tanggapannya menyoroti isu perilaku dan budaya masyarakat dalam menggunakan teknologi sebagai bagian dari era Society 5.0. Prinsipnya teknologi itu memiliki sebuah prasyarat perilaku.
Jika perilaku masyarakat pengguna teknologi tidak sesuai dengan hakekat teknologi itu sendiri, maka teknologi tidak akan memberikan manfaat yang optimal, dan bahkan mungkin menjadi tidak memiliki manfaat sama sekali selain hanya sebagai media hiburan semata. Di sinilah letak peran pentingnya edukasi kepada masyarakat sebagai pengguna teknologi, supaya menjadi smart, sesuai dengan Society 5.0 yaitu smart society.
Pada penutupannya, Founder ECI Network Dr. Pinpin Bhaktiar menjelaskan kita berada di antara alam optimisme dan sikap kritis. Banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, namun kita harus tetap optimis bahwa kita mampu memasuki era Society 5.0 dengan baik dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Baca juga: Wamenparekraf sarankan produk ekonomi kreatif bertransformasi ke NFT
Baca juga: Teknologi jembatani kesenjangan manusia dan ekonomi di Society 5.0
Baca juga: Kota Madiun raih penghargaan "Smart City" Dimensi "Smart Society"
Society 5.0 adalah isu peradaban, bukan sekedar isu teknologi digital
26 Juni 2022 13:40 WIB
Ilustrasi konsep smart city. (ANTARA/Dok)
Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: