BPIP dorong anak muda kampanyekan budaya digital sehat
24 Juni 2022 18:08 WIB
Sekretaris Pribadi (Sespri) Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Achmad Uzair berfoto bersama pada Dialog Nasional bertajuk "Pembasisan Pancasila di Era Disrupsi Melalui Nation dan Character Building," yang digelar Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (ANTARA/HO-Tim Humas BPIP dan UIN Yogyakarta)
Yogyakarta (ANTARA) - Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Achmad Uzair mendorong mahasiswa atau generasi muda Indonesia agar terus meningkatkan kompetensi digitalnya untuk mengkampanyekan budaya digital yang sehat.
Dalam keterangan tertulis BPIP yang diterima di Yogyakarta, Jumat, Achmad mengatakan di antara kelompok sosial yang rentan pada berita hoaks atau berita bohong, adalah anak muda, hal itu karena dari total pengguna internet sebanyak 143,26 juta orang sebesar 75,50 persen didominasi mereka yang berusia 13-18 tahun.
"Mahasiswa harus aktif mengatasi potensi persoalan ini dengan meningkatkan kompetensi digitalnya untuk mengkampanyekan budaya digital yang sehat," katanya di hadapan ratusan mahasiswa pada Dialog Nasional bertajuk "Pembasisan Pancasila di Era Disrupsi Melalui Nation dan Character Building," yang digelar Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
Menurut Uzair, nilai-nilai luhur yang dipraktikkan para pendiri bangsa bisa menjadi rujukan untuk membangun budaya digital yang positif.
"Tengok kasus proses perumusan Pancasila. Para tokoh pendiri bangsa secara gamblang menunjukkan ikhtiar pemecahan konflik terutama melalui lobi dan forum-forum dialogis agar perumusan Pancasila menjadi momen kolektif bangsa," katanya.
Menurut dia, perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi, berpotensi mengubah budaya yang ada. Lazim disebut disrupsi, potensi perubahan ini diantaranya adalah adanya pergeseran sumber rujukan dan otoritas.
Berkembangnya mesin pencarian dan media sosial membuka ruang partisipasi yang lebih luas. Untuk mengoptimalkan manfaat perubahan, meluasnya ruang partisipasi ini harus dibarengi dengan tumbuhnya kompetensi netizen.
"Warganet yang cakap dan berpengetahuan akan menghindarkan partisipasi sekadar menjadi ruang gema (echo chamber) dan mentransformasikannya menjadi ruang-ruang yang lebih dialogis," katanya.
Lebih lanjut Uzair menjelaskan bahwa terbukanya ruang partisipasi di media internet relatif hanya memerlukan keterampilan digital, cenderung tidak mensyaratkan penguasaan konten.
Dengan demikian, pengguna internet atau konten yang aktif belum tentu teruji kapasitasnya. Parahnya, rumus-rumus algoritma tertentu lebih banyak mengarahkan pengguna medsos pada akun atau channel yang sudah trending tanpa ada pertimbangan portofolio atau keahlian.
"Di satu sisi, era disrupsi ini memberi kita kemudahan akses. Namun di sisi lain, algoritma dan frekuensi klik cenderung membuat keahlian dan otoritas keilmuan kurang mendapatkan proporsi tampilan yang seimbang. Situasi ini bisa mengarah pada hoaks, kejumudan berpikir, dan keengganan berdialog," katanya.
Baca juga: BPIP: Hoaks mudah diterima masyarakat karena budaya kritis tergerus
Baca juga: BPIP: Penyebaran hoaks lemahkan nilai Pancasila
Baca juga: BPIP harap anak muda aktualisasikan nilai Pancasila di media digital
Dalam keterangan tertulis BPIP yang diterima di Yogyakarta, Jumat, Achmad mengatakan di antara kelompok sosial yang rentan pada berita hoaks atau berita bohong, adalah anak muda, hal itu karena dari total pengguna internet sebanyak 143,26 juta orang sebesar 75,50 persen didominasi mereka yang berusia 13-18 tahun.
"Mahasiswa harus aktif mengatasi potensi persoalan ini dengan meningkatkan kompetensi digitalnya untuk mengkampanyekan budaya digital yang sehat," katanya di hadapan ratusan mahasiswa pada Dialog Nasional bertajuk "Pembasisan Pancasila di Era Disrupsi Melalui Nation dan Character Building," yang digelar Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
Menurut Uzair, nilai-nilai luhur yang dipraktikkan para pendiri bangsa bisa menjadi rujukan untuk membangun budaya digital yang positif.
"Tengok kasus proses perumusan Pancasila. Para tokoh pendiri bangsa secara gamblang menunjukkan ikhtiar pemecahan konflik terutama melalui lobi dan forum-forum dialogis agar perumusan Pancasila menjadi momen kolektif bangsa," katanya.
Menurut dia, perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi, berpotensi mengubah budaya yang ada. Lazim disebut disrupsi, potensi perubahan ini diantaranya adalah adanya pergeseran sumber rujukan dan otoritas.
Berkembangnya mesin pencarian dan media sosial membuka ruang partisipasi yang lebih luas. Untuk mengoptimalkan manfaat perubahan, meluasnya ruang partisipasi ini harus dibarengi dengan tumbuhnya kompetensi netizen.
"Warganet yang cakap dan berpengetahuan akan menghindarkan partisipasi sekadar menjadi ruang gema (echo chamber) dan mentransformasikannya menjadi ruang-ruang yang lebih dialogis," katanya.
Lebih lanjut Uzair menjelaskan bahwa terbukanya ruang partisipasi di media internet relatif hanya memerlukan keterampilan digital, cenderung tidak mensyaratkan penguasaan konten.
Dengan demikian, pengguna internet atau konten yang aktif belum tentu teruji kapasitasnya. Parahnya, rumus-rumus algoritma tertentu lebih banyak mengarahkan pengguna medsos pada akun atau channel yang sudah trending tanpa ada pertimbangan portofolio atau keahlian.
"Di satu sisi, era disrupsi ini memberi kita kemudahan akses. Namun di sisi lain, algoritma dan frekuensi klik cenderung membuat keahlian dan otoritas keilmuan kurang mendapatkan proporsi tampilan yang seimbang. Situasi ini bisa mengarah pada hoaks, kejumudan berpikir, dan keengganan berdialog," katanya.
Baca juga: BPIP: Hoaks mudah diterima masyarakat karena budaya kritis tergerus
Baca juga: BPIP: Penyebaran hoaks lemahkan nilai Pancasila
Baca juga: BPIP harap anak muda aktualisasikan nilai Pancasila di media digital
Pewarta: Hery Sidik
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022
Tags: