Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia menjadi sangat penting dalam mencegah risiko stagflasi yang membayangi dunia saat ini.

Stagflasi adalah kondisi terjadinya stagnasi pertumbuhan ekonomi dan pada saat yang sama terdapat peningkatan inflasi.

"Intinya adalah bagaimana kita dapat bersama menjaga stabilitas harga dan mengendalikan inflasi dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Juni 2022 di Jakarta, Kamis.

Dari segi fiskal, ia mengungkapkan pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menaikkan subsidi energi dan bantuan sosial untuk menangkal dampak kenaikan harga komoditas global.

Sementara dari segi moneter, BI terus melakukan normalisasi kebijakan melalui kenaikan giro wajib minimum (GWM) untuk mendorong stabilitas perekonomian, sedangkan kebijakan bank sentral lainnya yaitu makroprudensial, sistem pembayaran, UMKM, pendalaman pasar keuangan, serta ekonomi dan keuangan syariah masih akan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Otoritas Moneter bersama Kementerian Keuangan juga telah menandatangani surat keputusan bersama untuk berbagi beban alias burden sharing dalam pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022, khususnya untuk bidang kesehatan dan perlindungan sosial.

Perry membeberkan setidaknya terdapat tiga faktor penyebab stagflasi di global, yakni pertama risiko yang berkaitan dengan ketegangan politik Rusia dan Ukraina termasuk pengenaan sanksinya yang menyebabkan gangguan pasokan energi dan pangan global, serta gangguan mata rantai pasokan global.

"Ini yang kemudian menyebabkan tingginya harga-harga komoditas, energi maupun harga pangan global. Harga minyak misalnya tahun ini bisa mencapai rata-rata 103 dolar AS per barel, demikian harga pangan juga meningkat tinggi," jelasnya.

Kemudian faktor yang kedua, lanjut dia, adalah pengetatan moneter yang ditempuh oleh sejumlah bank sentral terutama di negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, seperti di Amerika Serikat atau negara yang mengalami inflasi tinggi karena tidak memiliki ruang fiskal yang besar.

Adapun faktor ketiga penyebab stagflasi global yakni kenaikan kasus dan kebijakan nol COVID-19 di Tiongkok yang menyebabkan terjadinya perlambatan ekonomi.

Baca juga: BI proyeksi suku bunga Fed naik hingga 3,5 persen sampai akhir 2022
Baca juga: Bank Dunia sarankan Indonesia segera reformasi kebijakan subsidi
Baca juga: Gubernur BI: RI tak perlu terburu-buru tingkatkan suku bunga acuan