Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI meminta masukan dari Forum Pemimpin Redaksi (Pemred), aliansi masyarakat sipil, dan aliansi nasional KUHP untuk mengawal
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Forum kali ini kami mendengarkan pandangan koalisi dan Forum Pemred terhadap isu-isu krusial dalam RKHUP," kata Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Dhahana Putra di Jakarta, Kamis.

Jika melirik perjalanan RKUHP warisan kolonial Belanda tersebut, kata Dhahana, telah memakan waktu yang cukup panjang.

Sebanyak tujuh presiden, 15 menteri, bahkan 17 guru besar telah berpulang dalam upaya pembahasan RKUHP sejak 1958 tersebut.

Setelah itu, diadakan konferensi nasional pada tahun 1964 yang merekomendasikan hasil kajian RKUHP. Hal itu hampir bersamaan dengan pidato Menteri Kehakiman periode 1959—1962 Dr. Saharjo yang mengubah penjara menjadi pemasyarakatan di Lembang, Bandung.

Pemerintah, kata dia, sejak 1984 terus melakukan kajian, sosialisasi, dan seminar sehingga hampir setiap pasal dalam RKUHP melalui proses kajian dan penelitian.

"Pada tahun 1991 diumumkan bahwa Indonesia akan memiliki pidana nasional. Namun, hingga sekarang belum selesai juga," kata Dhahana.

Menurut dia, saat ini Indonesia masih terjajah dalam konteks hukum pidana karena masih menggunakan warisan kolonial. Sementara itu, Belanda diketahui telah mengubah sebanyak 455 kali.

Jika dilihat secara utuh, lanjut dia, pada dasarnya spirit dari RKUHP sesuai dengan konstitusi dan Pancasila, termasuk hak asasi manusia.

"Jadi, kalau kita lihat semangat para pembuat itu, sesuai dengan politik hukum negara," kata dia.

Pemerintah juga menyadari peran serta masyarakat dalam memberikan masukan sangat penting. Oleh sebab itu, Pemerintah berharap Indonesia bisa menorehkan tinta emas dengan melahirkan hukum pidana nasional.

Baca juga: Perlu jaga keharmonisan antara KUHP dan UU khusus

Baca juga: Akademikus: Terlalu banyak aturan korupsi tak efektif penerapannya