London (ANTARA) - Euro dan sterling jatuh pada perdagangan Rabu, karena investor beralih ke mata uang safe haven dolar sebagai bagian menjauh dari aset-aset berisiko ketika reli pasar saham melemah, dan setelah data menunjukkan inflasi harga konsumen Inggris mencapai level tertinggi baru 40 tahun.

Dengan investor kembali gelisah tentang prospek pertumbuhan global, dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang lainnya. Yen mencapai level terendah baru 24 tahun karena kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS dan Eropa kontras dengan suku bunga Jepang yang rendah.

Sterling turun 0,8 persen pada 1,2198 dolar, menyentuh level terendah dalam hampir seminggu, setelah harga konsumen Inggris melonjak menjadi 9,1 persen bulan lalu, tingkat tertinggi dari negara-negara Kelompok Tujuh (G7), menggarisbawahi keparahan krisis biaya hidup.

Ahli Strategi Pasar Global JP Morgan Asset Management, Mike Bell, mengatakan karena upah riil di Inggris sudah diperas oleh harga yang lebih tinggi, meningkatkan biaya pinjaman lebih lanjut "bisa terasa seperti menggosok garam di luka" dan meningkatkan risiko resesi. Namun, dia memperkirakan bank sentral Inggris akan terus menaikkan suku dalam upaya mengatasi inflasi sampai tanda-tanda yang jelas muncul bahwa pasar tenaga kerja melemah.

"Bank sentral Inggris terjebak di antara situasi yang sangat sulit dan harus membuat keputusan yang sulit," katanya.

Peristiwa utama lainnya pada Rabu adalah dimulainya kesaksian dua hari Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell kepada Kongres, dengan investor mencari petunjuk lebih lanjut tentang apakah kenaikan suku bunga 75 basis poin akan terjadi pada pertemuan Fed Juli.

Baca juga: Dolar menguat jelang rilis inflasi AS, euro jatuh pasca-pertemuan ECB

Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang lainnya naik 0,33 persen menjadi 104,8. Euro turun 0,4 persen menjadi 1,0497 dolar.

Yen terakhir melayang 0,3 persen lebih rendah pada 136,3 per dolar, setelah mencapai 136,71 pada awal perdagangan, terendah sejak Oktober 1998.

Para analis memperkirakan tidak ada akhir dari aksi jual yang telah melihat yen melemah 18 persen tahun ini dari 115,08 pada akhir 2021.

Mata uang telah melemah karena harga energi yang lebih tinggi memberikan tekanan pada neraca berjalan Jepang dan karena kesenjangan yang semakin lebar antara imbal hasil obligasi pemerintah Jepang dan AS.

Bank sentral Jepang pekan lalu mempertahankan suku bunga sangat rendah dan berjanji untuk mempertahankan kebijakan kontrol kurva imbal hasil (YCC), yang secara efektif membatasi imbal hasil obligasi pemerintah Jepang 10-tahun pada 0,25 persen.

"Dolar/yen terus diperdagangkan di tengah imbal hasil obligasi pemerintah, yang stabil tetapi dengan imbal hasil 10-tahun bertahan di atas level 3,20 persen sementara bank sentral Jepang telah melakukan banyak hal untuk mempertahankan YCC," kata Redmond Wong, Ahli Strategi Pasar Saxo Markets Hong Kong.

Mata uang komoditas krona Norwegia jatuh 1,3 persen terhadap dolar menjadi 9,9740, dan dolar Australia turun 1,1 persen menjadi 0,6898 dolar AS, karena harga komoditas yang rendah juga membebani.

Baca juga: Dolar melemah, tertekan kenaikan suku bunga bank sentral AS