Jakarta (ANTARA News) - Laporan majalah The Economist menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang dapat bertahan dari krisis global karena memiliki stabilitas moneter dan kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dalam laporan terbaru majalah tersebut yang dikutip ANTARA di Jakarta, Selasa malam, Indonesia dianggap memiliki laju inflasi, pertumbuhan kredit, tingkat suku bunga, pergerakan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS serta anggaran negara, yang relatif sehat dan terjaga.

Indonesia bersama dengan China dan Arab Saudi memiliki kapasitas terbesar untuk menggunakan kebijakan moneter dan fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

"Chili, Peru, Rusia, Singapura dan Korea Selatan juga mendapatkan apresiasi yang sama," kata laporan tersebut.

Sementara, kondisi perekonomian di Argentina, Brasil, Hungaria, Turki, Pakistan dan Vietnam lebih mengkhawatirkan dibandingkan Mesir, India dan Polandia, yang dalam situasi sama, namun memiliki ruang untuk stimulus fiskal.

Pertumbuhan di Brasil dan India diprediksi akan melambat, dibandingkan China karena kurangnya kebijakan fiskal dan moneter yang memadai.

"Kebijakan fiskal India kurang memadai dalam mengatasi tingginya laju inflasi, dan Bank Sentral India tidak menurunkan suku bunga walaupun perekonomian sedang melambat. Sebaliknya, Bank Sentral Brasil telah menurunkan suku bunga sebanyak empat kali sejak Agustus tahun lalu," ujar laporan The Economist.

Laporan tersebut menyebutkan krisis mulai berdampak pada negara berkembang dan menurunkan prediksi pertumbuhan pada triwulan IV 2011 sebesar 3,0 persen, dari sebelumnya pada triwulan I sebesar 6,5 persen.

Akibat pelambatan tersebut beberapa negara melakukan kebijakan pengetatan untuk menjaga terhadap kemungkinan terjadinya "overheating" dan menahan laju inflasi.

Namun, kemungkinan akan terjadi penurunan ekspor dan berkurangnya arus modal.

"Apabila krisis utang di Eropa makin memburuk, maka keadaan di negara berkembang juga tidak akan membaik," lanjut laporan tersebut.

Kabar baiknya, negara berkembang masih memiliki ruang moneter dan fiskal yang memadai, ketika negara maju hanya mempunyai sedikit ruang untuk memangkas suku bunga atau meningkatkan pinjaman.

Ruang moneter dan fiskal yang memadai itulah yang membuat negara berkembang mampu bertahan dari krisis 2008-2009 karena mampu mendorong permintaan dan menjadikan sektor swasta dalam kondisi prima.

Saat ini defisit anggaran negara berkembang hanya mencapai 2,0 persen dari PDB dibandingkan negara yang tergabung dalam kelompok G7 yang mencapai 8,0 persen.

"Rasio utang pemerintah terhadap PDB negara berkembang juga mencapai 36 persen dari PDB, dibandingkan sekitar 119 persen yang dicapai negara maju," kata laporan tersebut.

Berdasarkan situasi itu, The Economist membuat klasifikasi indeks dari 27 negara berkembang atas lima indikator yang telah disebutkan, atas kondisi perekonomian yang terjadi akhir-akhir ini.

Laporan menyebutkan, laju inflasi terendah dialami Taiwan sebesar 2,0 persen dan tertinggi di Argentina serta Venezuela 20 persen lebih.

Namun rata-rata negara berkembang mempunyai inflasi sebesar 5,0 persen karena penurunan harga pangan.

Kemudian, pertumbuhan kredit tampak mengkhawatirkan di Argentina, Brasil, Hong Kong dan Turki, dibandingkan pinjaman bank di China yang saat ini lebih meningkat dari PDB mereka.

Tingkat suku bunga rata-rata negatif, namun Brasil dan China mendapatkan angka 2,0 persen tahun lalu. Sedangkan mata uang Brasil, Hungaria, India dan Polandia mengalami depresiasi double digit terhadap dolar AS dengan resiko harga impor meningkat dan mendorong inflasi.

Indikator terakhir adalah anggaran negara yang berimbang dan sehat, dimana Turki merupakan negara yang paling rentan karena defisit anggaran diprediksi mencapai 9,0 persen dari PD pada 2012.

Sementara India, Polandia dan Afrika Selatan berjuang mempertahankan angka 4,0 persen atau lebih.

Sedangkan, negara seperti Brasil, Hungaria, Mesir, India, Pakistan dan Polandia memiliki rasio utang terhadap PDB rata-rata 60 persen dimana empat negara terakhir juga memiliki defisit anggaran 6,0 hingga 9,0 persen.

"Rusia, Singapura dan Korea Selatan memiliki ruang yang besar untuk stimulus fiskal," kata laporan itu. (ANT)