"Polusi udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari ini," ujar Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu dalam jumpa pers daring menjelang HUT ke-495 DKI Jakarta di Jakarta, Selasa.
Ia menilai cuaca menjadi salah satu penyebabnya, tetapi penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara (bergerak dan tidak bergerak) yang belum bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Baca juga: BMKG : Sejumlah faktor pengaruhi penurunan kualitas udara Jakarta
Ia mengemukakan data lQAir pada Senin (20/6) pukul 06.00 WIB, kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy).
Data Selasa pagi (21/6), pukul 06.33 WIB, Jakarta masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).
"Data-data ini mengacu pada data resmi yang dimiliki pemerintah, yaitu KLHK dan DLH DKI Jakarta," tuturnya.
Ia mengatakan partikel polusi udara dari PM2.5 terjadi peningkatan ketika dini hari hingga pagi hari, hal ini terjadi karena tingginya kelembapan udara, sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau dikenal dengan istilah secondary air pollutants.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL, Fajri Fadhillah menambahkan polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah permasalahan lintas batas.
Baca juga: Kualitas udara Jakarta tembus indeks 193
Baca juga: BMKG jelaskan sejumlah faktor peningkatan konsentrasi PM2.5 di Jakarta
Menurutnya, sumber-sumber pencemar udara datang dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, cukup signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta.
Sebelumnya, Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko mengatakan konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi, baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.
"Emisi ini dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5," ujar Urip.