Legislator usulkan pengadaan alutsista prioritaskan pinjaman dalam negeri
30 Januari 2012 22:46 WIB
Dari kiri Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Armida Alisjahbana, Menkeu Agus Martowardojo, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1). Salah satu agenda pertemua tersebut yaitu tentang Perencanaan Pembangunan Minimum Essential Forces. (FOTO ANTARA/Andika Wahyu)
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta untuk memprioritaskan sumber pinjaman dalam negeri (PDN) dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
"Selama ini anggaran lebih banyak berasal dari kredit ekspor, kalau demikian maka pemimpin dalam sektor pertahanan adalah asing, karena BUMN pertahanan seperti PT Pindad hanya mendukung subsektor saja," kata anggota Komisi I DPR Enggartiasto Lukito pada rapat dengar pendapat di Jakarta, Senin.
Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq tersebut dihadiri Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana serta Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.
Dalam rapat itu, Menkeu menyebutkan bahwa anggaran alutsista "minimum essential forces" untuk 2010-2014 mencapai Rp156 triliun yang terdiri atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 sebesar Rp99 triliun dan alokasi "on top" berdasar hasil rapat kabinet terbatas yang disahkan pada Keppres No. 35/2011 tanggal 27 Desember 2011 sebesar Rp57 triliun.
Dari alokasi Rp99 triliun tersebut, Rp32,5 triliun digunakan untuk belanja barang dan Rp66,6 triliun untuk belanja modal. Dana belanja modal itu terdiri atas pinjaman luar negeri sebesar 6,5 miliar dolar AS dan sisanya berjumlah Rp4 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri.
"Masalah lain, bila sumber pendanaan lebih banyak berasal dari luar, kita jadi tergantung dengan mata uang asing yaitu dolar yang berfluktualisasi dan akan mengganggu cadangan devisa negara," tambah Enggar.
Padahal menurut dia, bank-bank nasional memiliki modal dalam bentuk rupiah yang berlebih, dibuktikan dengan kemampuan mereka membeli Surat Utang Negara.
"Kalau bank domestik membeli SUN, konsekuensinya negara harus membayar mereka, kenapa dana itu tidak dialihkan saja agar bank-bank nasional membuat konsorsium untuk menyalurkan pendanaan alutsista? Kami meminta agar pendanaan alutsista mayoritas dari dalam negeri, sehingga rupiah yang berlebih dapat dipakai dan kita dapat menjadi `leading sector` pertahanan," ungkap Enggar.
Selain itu, Enggar juga berharap agar pajak pembelian produk pertahanan BUMN yang dianggarkan dalam APBN ditanggung pemerintah.
"Saat PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia menjual produk, mereka harus membayar pajak tapi kalau impor pesawat dari luar negeri bebas pajak, kami minta agar pajak pembelian produk pertahanan dari BUMN untuk kepentingan negara ditanggung pemerintah, cukup dengan SK Menteri Keuangan," ungkap Enggar.
Menanggapi hal tersebut, Menkeu mengatakan bahwa pinjaman luar negeri yang diajukan masih masuk ke dalam target rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Rasio utang kita terhadap PDB pada 2011 hanya mencapai 24,9 persen, berbeda jauh dengan periode 2001 yang mencapai 90 persen, jadi masih cukup aman, sementara target defisit anggaran 2012 adalah 1,5 persen sehingga defisit anggaran yang rendah tidak banyak mempengaruhi jumlah utang," kata Agus.
Ia pun mengatakan bahwa mekanisme pinjaman luar negeri itu sudah sesuai dengan PP No 10/2011 tentang Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, dan pinjaman itu juga masih diperlukan karena ada alutsista yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan harus membeli dari luar.
"Namun Kemenkeu juga sudah mengalokasikan Rp2 triliun untuk mendukung keuangan BUMN pertahanan seperti PT PAL, PT Pindad dan PT DI, tapi BUMN itu sendiri yang harus berusaha untuk menyehatkan keuangannya bekerja sama dengan kementerian BUMN dan PT Perusahaan Pengelolaan Aset," ungkap Agus.
Menurut Agus, dari alokasi pinjaman luar negeri sebesar 6,5 miliar dolar AS, pemerintah sudah menerbitkan penetapan sumber pembiayaan (PSP) sebesar 5,7 miliar dolar AS, artinya masih ada sekitar 0,8 miliar dolar AS yangg harus dicari sumber pembiayaannya.
Mengenai sumber pinjaman, Agus mengatakan bahwa pemerintah melakukan kebijakan anggaran yang transparan, hati-hati, tidak mengganggu stabilitas keamanan negara dan tidak terikat pada ikatan politik tertentu.
"Pinjaman itu berasal dari pinjaman komersil, bilateral dan kredit ekspor, kami membuat kebijakan yang memisahkan mekanisme pembiayaan yang ditangani Kemenkeu dan pengadaan yang dilakukan Kemenhan dan TNI sehingga negara pemberi pinjaman tidak punya kepentingan terkait pengadaan barang," tambah Menkeu.
(D017)
"Selama ini anggaran lebih banyak berasal dari kredit ekspor, kalau demikian maka pemimpin dalam sektor pertahanan adalah asing, karena BUMN pertahanan seperti PT Pindad hanya mendukung subsektor saja," kata anggota Komisi I DPR Enggartiasto Lukito pada rapat dengar pendapat di Jakarta, Senin.
Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq tersebut dihadiri Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana serta Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.
Dalam rapat itu, Menkeu menyebutkan bahwa anggaran alutsista "minimum essential forces" untuk 2010-2014 mencapai Rp156 triliun yang terdiri atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 sebesar Rp99 triliun dan alokasi "on top" berdasar hasil rapat kabinet terbatas yang disahkan pada Keppres No. 35/2011 tanggal 27 Desember 2011 sebesar Rp57 triliun.
Dari alokasi Rp99 triliun tersebut, Rp32,5 triliun digunakan untuk belanja barang dan Rp66,6 triliun untuk belanja modal. Dana belanja modal itu terdiri atas pinjaman luar negeri sebesar 6,5 miliar dolar AS dan sisanya berjumlah Rp4 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri.
"Masalah lain, bila sumber pendanaan lebih banyak berasal dari luar, kita jadi tergantung dengan mata uang asing yaitu dolar yang berfluktualisasi dan akan mengganggu cadangan devisa negara," tambah Enggar.
Padahal menurut dia, bank-bank nasional memiliki modal dalam bentuk rupiah yang berlebih, dibuktikan dengan kemampuan mereka membeli Surat Utang Negara.
"Kalau bank domestik membeli SUN, konsekuensinya negara harus membayar mereka, kenapa dana itu tidak dialihkan saja agar bank-bank nasional membuat konsorsium untuk menyalurkan pendanaan alutsista? Kami meminta agar pendanaan alutsista mayoritas dari dalam negeri, sehingga rupiah yang berlebih dapat dipakai dan kita dapat menjadi `leading sector` pertahanan," ungkap Enggar.
Selain itu, Enggar juga berharap agar pajak pembelian produk pertahanan BUMN yang dianggarkan dalam APBN ditanggung pemerintah.
"Saat PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia menjual produk, mereka harus membayar pajak tapi kalau impor pesawat dari luar negeri bebas pajak, kami minta agar pajak pembelian produk pertahanan dari BUMN untuk kepentingan negara ditanggung pemerintah, cukup dengan SK Menteri Keuangan," ungkap Enggar.
Menanggapi hal tersebut, Menkeu mengatakan bahwa pinjaman luar negeri yang diajukan masih masuk ke dalam target rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Rasio utang kita terhadap PDB pada 2011 hanya mencapai 24,9 persen, berbeda jauh dengan periode 2001 yang mencapai 90 persen, jadi masih cukup aman, sementara target defisit anggaran 2012 adalah 1,5 persen sehingga defisit anggaran yang rendah tidak banyak mempengaruhi jumlah utang," kata Agus.
Ia pun mengatakan bahwa mekanisme pinjaman luar negeri itu sudah sesuai dengan PP No 10/2011 tentang Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, dan pinjaman itu juga masih diperlukan karena ada alutsista yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan harus membeli dari luar.
"Namun Kemenkeu juga sudah mengalokasikan Rp2 triliun untuk mendukung keuangan BUMN pertahanan seperti PT PAL, PT Pindad dan PT DI, tapi BUMN itu sendiri yang harus berusaha untuk menyehatkan keuangannya bekerja sama dengan kementerian BUMN dan PT Perusahaan Pengelolaan Aset," ungkap Agus.
Menurut Agus, dari alokasi pinjaman luar negeri sebesar 6,5 miliar dolar AS, pemerintah sudah menerbitkan penetapan sumber pembiayaan (PSP) sebesar 5,7 miliar dolar AS, artinya masih ada sekitar 0,8 miliar dolar AS yangg harus dicari sumber pembiayaannya.
Mengenai sumber pinjaman, Agus mengatakan bahwa pemerintah melakukan kebijakan anggaran yang transparan, hati-hati, tidak mengganggu stabilitas keamanan negara dan tidak terikat pada ikatan politik tertentu.
"Pinjaman itu berasal dari pinjaman komersil, bilateral dan kredit ekspor, kami membuat kebijakan yang memisahkan mekanisme pembiayaan yang ditangani Kemenkeu dan pengadaan yang dilakukan Kemenhan dan TNI sehingga negara pemberi pinjaman tidak punya kepentingan terkait pengadaan barang," tambah Menkeu.
(D017)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012
Tags: