Jakarta (ANTARA News) - Rasanya sakit sekali hati ini: harus bekerja keras untuk menolong perusahaan yang lagi sakit keras, tetapi kesulitan itu sebenarnya dibuat sendiri oleh direksinya. Contohnya, Djakarta Lloyd.

Perusahaan pelayaran yang pernah memiliki grup band terkenal D’Lloyd itu kini bukan main sulitnya. Sampai-sampai tidak mampu membayar karyawannya.

Pemerintah bersama DPR, sebenarnya sudah berkali-kali mencoba menyelamatkannya, yakni dengan cara menggerojokkan ratusan miliar uang negara ke dalamnya. Namun, sia-sia. Palung kesulitan Djakarta Lloyd sudah terlalu dalam rupanya. Uang ratusan miliar itu seperti batu kecil yang dilempar ke lautan dalam.

Kini, perusahaan itu masih memiliki utang kira-kira Rp3,6 triliun!

Kalau saja palung kesulitannya tidak terlalu dalam, sebenarnya masih bisa diselamatkan. Saya tahu caranya. Waktu masih menjabat Dirut PLN saya sudah diminta ikut memikirkannya. Jalan keluar yang disiapkan waktu itu mestinya bisa menyehatkan Djakarta Lloyd dengan cepat. Beri saja pekerjaan mengangkut batu bara PLN sekian juta ton setahun!

Ternyata ada masalah.Djakarta Lloyd sudah tidak punya kapal sama sekali. Mau diangkut dengan apa batu bara itu? Tentu masih ada jalan lain. Djakarta Lloyd bisa menyewa kapal. Yang penting perusahaan yang sedang pingsan itu segera memiliki aktivitas yang menguntungkan agar karyawannya bisa segera gajian. Namun, cara ini sungguh bukan cara bisnis yang sehat.

PLN sebenarnya bisa juga menolong Djakarta Lloyd agar perusahaan itu bisa membeli kapal. Caranya, PLN menjamin Djakarta Lloyd akan selalu mendapat pekerjaan mengangkut batu bara. Masalahnya, tidak ada lagi orang yang percaya kepada Djakarta Lloyd. Padahal kepercayaan, dalam bisnis, adalah segala-galanya.

Tidak punya uang pun sepanjang masih dipercaya sebenarnya masih bisa membeli kapal. Namun, kepercayaan itu sudah lama terhempas. Bahkan, secara teknis Djakarta Lloyd sudah tidak boleh memiliki kapal. Begitu ada yang tahu perusahaan ini memiliki kapal, kapal itu akan langsung jadi rebutan: disita oleh orang yang punya tagihan ke Djakarta Lloyd. Membeli lagi disita lagi. Membeli lagi disita lagi.

BUMN memiliki dua perusahaan pelayaran. Djakarta Lloyd dan Bahtera Adhi Guna. Dua-duanya dalam kesulitan besar. Namun, Bahtera tidak sampai ke kasus hukum sehingga bisa diselamatkan, yakni dengan menjadikan anak perusahaan PLN. Tugasnya, mengangkut batu bara jutaan ton milik PLN.

Ketika PLN ditugasi menyelamatkan Bahtera perombakan direksi segera dilakukan. Hanya satu direksi lama yang masih dipertahankan. Selebihnya, adalah orang baru pilihan PLN. Pelan-pelan kondisi perusahan itu membaik. Bahkan, sejak bulan lalu Bahtera Adhi Guna sudah memiliki kapal-kapal besar untuk mengangkut batu bara.

Tentu saya tidak mau cara yang sama dipergunakan untuk menyelamatkan Djakarta Lloyd. Saya tidak mau Djakarta Lloyd menjadi anak perusahaan BUMN mana pun. Kasus-kasus utangnya, kasus hukumnya, kasus masa lalunya bisa menyeret induknya sampai ke neraka.

Saya juga tidak setuju kalau negara kembali menggerojokkan uang ke dalamnya. Apalagi saya lihat Komisi VI DPR juga sudah sangat jengkel dengan persoalan seperti ini. Lebih jengkel lagi kalau tahu bagaimana kesulitan itu dibuat oleh para direksinya pada masa lalu. Dan, kasus seperti Djakarta Lloyd ini di BUMN tidak hanya satu.

Sebenarnya, kita harus kasihan kepada Direktur Utama Djakarta Lloyd yang sekarang, Syahril Japarin. Orangnya cerdas, gigih, dan mau bekerja keras. Dia juga tahan menderita. Sejak diangkat menjadi dirut setahun yang lalu belum pernah gajian. Dia memang bertekad belum mau mengambil gaji sebelum Djakarta Lloyd mampu menggaji karyawannya.

Postur badannya yang kecil dan bakatnya yang kurus membuat saya lebih iba lagi melihatnya. Namun, persoalan Djkarta Lloyd memang terlalu berat. Kalau dipertahankan pengorbanan tidak gajian itu akan terlalu lama. Bahkan, bisa sampai seumur hidupnya. Padahal dia tidak memiliki pekerjaan lain. Juga, menurut pengakuannya, tidak memiliki tabungan yang cukup. Nasionalisme dan geregetanlah yang menantangnya untuk mau menjadi Dirut Djakarta Lloyd.

Namun, persoalannya tidak lagi cukup dengan pengorbanan. Tanggung jawab dan nasib Syahril Japarin sudah persis seperti syair lagu Sam D"lloyd, berjudul "Apa Salah dan Dosaku":

Aku tak sanggup lagi
Menerima derita ini
Aku tak sanggup lagi
Menerima semuanya
Apa salahku dan dosaku
Sampai ku begini
***

Itulah sebabnya perusahaan BUMN seperti pabrik kertas Leces di Probolinggo atau Industri Kapal Indonesia (IKI) di Makasar harus belajar banyak dari pengalaman Djakarta Lloyd. Dua perusahaan ini juga sangat-sangat sulit. Juga sampai tidak mampu menggaji karyawannya. Namun, masih ada cahaya kecil di kejauhan sana. Cahaya itulah yang harus dikejar.

Dua perusahaan ini tidak akan bisa diselamatkan hanya dengan cara menggerojok uang dari negara. Komisi VI DPR memang sudah menyetujui memberikan dana ratusan miliar rupiah kepada keduanya, namun saya memilih membenahi dulu manajemennya. Penggerojokan itu sudah pernah dilakukan, toh tidak bisa menolong banyak.

Oleh karena itu, untuk Leces saya minta banting setir dulu. Boiler baru yang sedang dibangun itu, tidak perlu untuk menggerakkan mesin-mesin kertas. Boiler itu lebih baik untuk membangkitkan listrik. Saya melihat ada empat buah turbin lama yang menganggur di PLN. Masing-masing 10 MW. Ini bisa dipakai di Leces. Setelah menghasilkan listrik 60 MW, listriknya jangan untuk menggerakkan mesin-mesin kertas, tetapi dijual saja ke PLN. Industri kertas sekarang lagi sulit. Apalagi ada krisis Eropa dan Amerika.

Dengan menjual listrik ke PLN, setidaknya gaji untuk karyawan akan cukup. Demikian pula, pabrik sodanya. Soda itu tidak perlu untuk membuat kertas. Jual saja soda ke pasar. Akan ada tambahan penghasilan lagi.

Setelah karyawan bisa gajian, perusahaan akan lebih tenang. Manajemennya bisa sedikit bernapas, sambil mencari akal apa lagi yang bisa dilakukan. Tentu saya tetap terbuka untuk ide baru dari direksi dan karyawan Leces yang lebih baik.

Demikian pula, IKI di Makasar. Perusahaan ini harus dihidupkan dengan memperbaiki dasar-dasar manajemennya. Bukan dengan tiba-tiba menggerojokkan uang besar-besaran. Perusahaan ini seharusnya tidak sulit. Sebab pasarnya sangat besar. Banyak kapal yang antre untuk diperbaiki. Masalahnya dok milik IKI sudah hancur. Dermaganya sudah rusak. Tempat peluncuran kapalnya sudah keropos.

Saya sudah minta perusahaan BUMN yang ada di Surabaya, PT Dok Perkapalan Surabaya (DPS), untuk turun tangan. Dirut DPS, Firmansyah, saya tugasi melakukan perbaikan manajemen IKI. Juga menjadi penjamin perbaikan-perbaikan fasilitas dok yang rusak. DPS yang kinerjanya sangat bagus, tentu bisa menularkan kemampuannya kepada IKI. Toh bidang usahanya persis sama.

Perseroan Terbatas (PT) Semen Tonasa, BUMN yang ada di Makasar, juga turun tangan. Pabrik semen yang lagi membangun unit yang ke-5 itu membutuhkan crane besar. Kebetulan IKI memiliki crane yang sudah 10 tahun lebih menganggur. Daripada Tonasa membeli crane, lebih baik memanfaatkan crane milik IKI yang sangat besar: 450 ton. Saya minta crane ini disewakan ke Tonasa. IKI bisa dapat pemasukan puluhan miliar.

Bahkan, Dirut Semen Tonasa, M. Sattar Taba, yang selama membangun tambahan pabrik semen memerlukan tenaga kerja, sanggup menampung 100 orang karyawan IKI yang belum bekerja karena masih menunggu perbaikan sarana dok. Kelak, ketika pembangunan pabrik semen sudah selesai, perbaikan dok sudah selesai juga. Mereka bisa kembali bekerja keras di IKI.

Kalau IKI nanti kembali hidup, kapal-kapal di Indonesia Timur yang rusak tidak harus diperbaiki di Surabaya atau Jakarta, cukup dikirim ke Makasar.

Tentu saya salut dengan karyawan di Leces dan IKI. Di samping cukup sabar, mereka juga rajin ikut berpikir apa yang terbaik yang bisa dilakukan.

Malam Idhuladha yang lalu saya bermalam di Leces. Paginya, setelah salat Id, saya berdialog dengan karyawan yang ternyata memang sangat memprihatinkan. Hampir 2.000 karyawan tidak memiliki pekerjaan karena mesin-mesin pembuat kertas itu sudah lama berhenti.

Bagaimana dengan galangan kapal IKI Makasar? Saya sudah dua kali meninjau IKI. Tanpa memberi tahu siapa pun. Yang pertama tengah hari. Yang kedua nyaris tengah malam, minggu depannya. Kedatangan saya yang pertama akhirnya memang diketahui beberapa karyawan. Mereka lantas tergopoh-gopoh bikin poster. Mereka berdemo. Mungkin karena tergesa-gesa beberapa poster tidak bisa dibaca. Saya pun mendatangi mereka untuk mengingatkan bahwa memegang posternya terbalik.

Sepusing-pusing Leces dan IKI, kelihatannya tidak akan sepusing pabrik gula. Bukan hanya satu atau dua pabrik gula yang sulit. Akan tetapi, satu rombongan! Kini, ada sekitar 25 pabrik gula milik BUMN yang dalam keadaan sangat sulit. Akibatnya Indonesia harus impor gula. Mau diapakan pabrik-pabrik gula ini?

Saya sudah mempelajarinya. Sakitnya pabrik gula ini sudah seperti sakit komplikasi. Mulai dari lahan, tanah, tebang, angkut, giling, bibit, pupuk, rendemen, sampai ke manajemen.

Persoalan ini tidak mungkin lagi dipecahkan lewat keluhan, omelan, marah, seminar, rapat kerja, sidak, atau mutasi pejabat. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Februari nanti saya akan mengadakan acara bernama "Bahtsul Masail Kubro Pabrik Gula". Saya terpaksa meminjam istilah para ulama NU itu untuk menandai betapa sudah rumitnya persoalan pabrik gula ini.

*Menteri BUMN