Indonesia sebagai pemegang tangguk Presidensi G20 tahun ini mengusung tema Recover Together, Recover Stronger yang bermakna melanjutkan peranan mewujudkan pemulihan ekonomi dan kesehatan dunia yang inklusif. Selain itu, merefleksikan kepimpinan dan kontribusi Indonesia pada tingkat global.
Dengan tema dan semangat ini, Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan G20 ingin memastikan bahwa forum tersebut relevan, tak hanya bagi negara anggotanya, melainkan seluruh dunia, khususnya negara berkembang.
Pada G20 bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bersiap menggelar pertemuan para Menteri Kesehatan Negara Anggota G20 (The 1st G20 Health Ministers Meeting/HMM) di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 20-21 Juni 2022.
Pertemuan tersebut diharapkan semakin memperjelas rupa dari desain arsitektur kesehatan global yang sebelumnya dibentuk melalui serangkaian pertemuan Kelompok Kerja Kesehatan (Health Working Group/HWG).
HMM sebagai forum khusus yang mempertemukan para menteri kesehatan akan membahas tiga topik strategis dalam menyusun kekuatan sistem kesehatan, pengakuan bersama sertifikat mobilisasi perjalanan internasional, serta membangun pusat manufaktur dan penelitian. Tujuannya, agar dunia lebih siap menghadapi ancaman pandemi di masa depan.
Topik pertama, strategi membangun akses penggalangan sumber dana yang bersifat permanen melalui operasional Financial Intermediary Fund (FIF), serta berbagi informasi dan data virus melalui model GISAID+ untuk patogen yang berpotensi menimbulkan pandemi.
Topik kedua, membahas masukan para pakar ilmu kesehatan dan otoritas terkait dalam pembentukan Federated Public Trust Directory sebagai harmonisasi mekanisme verifikasi sertifikat vaksin digital COVID-19 berstandar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk mempermudah perjalanan internasional.
Masukan para pakar itu dihimpun dari hasil pertemuan Health Working Group (HWG) yang dihadiri 70 delegasi mancanegara dan 50 delegasi lokal pada 28-30 Maret 2022.
Isu ketiga, membahas strategi setiap negara anggota dalam menjamin pemerataan pengembangan dan pendistribusian vaksin, obat, maupun alat kesehatan untuk menghadapi pandemi di masa depan.
Pertemuan akan dilaksanakan secara hybrid (luring dan daring) yang dihadiri para menteri kesehatan dan keuangan negara anggota G20 serta undangan khusus, Sekjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, CEO Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) Richard Hatchett, Sekjen Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Mathias Cormann, Delegasi Global Fund dan delegasi Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID).
Baca juga: Indonesia dorong langkah penguatan arsitektur kesehatan di HWG ke-2
Baca juga: Menkes sebut Indonesia berikan pendanaan FIF 50 juta dolar AS
Atasi ketimpangan
Berkaca pada perjalanan pandemi COVID-19, tergambar jelas betapa rapuh sistem kesehatan dunia saat ini. Indonesia misalnya, sempat kelimpungan saat harus memasok kebutuhan obat dan vaksin di dalam negeri, sebab 90 persen lebih bahan baku maupun produk jadi masih bergantung pada impor.
Sejumlah produsen, seperti di India, sempat menyetop ekspor vaksin dan obat antivirus saat gelombang Delta Juli 2021 karena angka permintaan di negara tersebut yang tinggi.
Dampaknya, PT Indofarma Tbk (INAF) harus mencarter satu pesawat Garuda Indonesia untuk menjemput 50 Kg bahan baku obat (BBO) Oseltamivir atau obat penyembuhan pasien Corona ke India sebab tidak ada transportasi yang tersedia untuk mengirimkan obat ke Indonesia.
Selain itu, Uni Eropa (EU) juga dilaporkan membuat peraturan yang mengontrol ekspor vaksin di wilayahnya. Kebijakan itu berpangkal pada perselisihan negara-negara Eropa dengan produsen vaksin yang kesulitan memenuhi pengiriman suplai sesuai perjanjian.
Dalam "mekanisme transparansi" yang diterapkan EU, negara-negara anggota berwenang menolak otorisasi ekspor vaksin bila perusahaan yang memproduksi belum memenuhi kontraknya.
WHO pun mengkritik situasi itu sebagai nasionalisme vaksin yang berbahaya dan mengkhawatirkan. Alasannya, berpotensi membuat masyarakat di negara lain tertunda mendapatkan vaksin. Sebab itu, WHO hanya menargetkan vaksinasi 70 persen populasi di setiap negara menyusul jumlah vaksin dan ketersediaan dana yang terbatas.
Indonesia sebenarnya kaya sumber daya alam yang menjanjikan untuk pengembangan bahan baku obat maupun vaksin yang jika dikembangkan secara optimal, dapat melepas ketergantungan impor.
Misalnya, produk Petro Pharmaceutical untuk pembuatan Paracetamol. Obat-obatan berbasis biosimilar yang merupakan tiruan dari obat biologis yang sudah habis masa patennya, seperti obat biologis insulin, albumin, dan interferon.
Menkes Budi Gunadi Sadikin juga melihat peluang Indonesia sebagai produsen plasma terbesar dunia untuk kebutuhan albumin, factor eight, immunoglobulin, gamaras.
"Orang Indonesia jumlahnya 270 juta jiwa, seharusnya kita produsen plasma darah nomor empat terbesar di dunia. Masa produk yang banyak dipakai masih semuanya impor. Itu kan enggak bener, Pasti ada mafia yang tidak ingin bikin pabriknya di sini," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Budi optimistis jika seluruh sumber daya itu digarap optimal, maka Indonesia melepas 50 persen ketergantungan bahan baku obat pada mekanisme impor.
Di tataran kebutuhan vaksin dalam negeri, otoritas kesehatan sedang mengembangkan Vaksin Merah Putih yang melibatkan peneliti Universitas Airlangga bersama PT Biotis, Vaksin Merah Putih PT Bio Farma, dan Boulevard Medicine.
Selain itu, juga ada Vaksin Zifivax yang dikembangkan PT JBio melalui transfer teknologi dari Anhui Zhifei Longco, China, untuk pengembangan vaksin ber-platform protein rekombinan sub-unit. Selain vaksin COVID-19, akan diproduksi vaksin lain, seperti Meningitis, Measles Rubella, TB, dan HPV.
Vaksin dalam negeri lainnya adalah Etana bekerja sama dengan Yuxi Walvax, China, untuk produksi vaksin COVID-19 berplatform mRNA pertama di Indonesia.
Menteri BUMN RI Erick Thohir meminta kapasitas produksi vaksin dalam negeri dipersiapkan untuk menyokong peran Indonesia sebagai hub produksi vaksin dunia.
Baca juga: Pembahasan arsitektur kesehatan global libatkan menteri keuangan G20
Baca juga: Berbagi data genom untuk hadapi potensi pandemi masa depanAtasi ketimpangan
Berkaca pada perjalanan pandemi COVID-19, tergambar jelas betapa rapuh sistem kesehatan dunia saat ini. Indonesia misalnya, sempat kelimpungan saat harus memasok kebutuhan obat dan vaksin di dalam negeri, sebab 90 persen lebih bahan baku maupun produk jadi masih bergantung pada impor.
Sejumlah produsen, seperti di India, sempat menyetop ekspor vaksin dan obat antivirus saat gelombang Delta Juli 2021 karena angka permintaan di negara tersebut yang tinggi.
Dampaknya, PT Indofarma Tbk (INAF) harus mencarter satu pesawat Garuda Indonesia untuk menjemput 50 Kg bahan baku obat (BBO) Oseltamivir atau obat penyembuhan pasien Corona ke India sebab tidak ada transportasi yang tersedia untuk mengirimkan obat ke Indonesia.
Selain itu, Uni Eropa (EU) juga dilaporkan membuat peraturan yang mengontrol ekspor vaksin di wilayahnya. Kebijakan itu berpangkal pada perselisihan negara-negara Eropa dengan produsen vaksin yang kesulitan memenuhi pengiriman suplai sesuai perjanjian.
Dalam "mekanisme transparansi" yang diterapkan EU, negara-negara anggota berwenang menolak otorisasi ekspor vaksin bila perusahaan yang memproduksi belum memenuhi kontraknya.
WHO pun mengkritik situasi itu sebagai nasionalisme vaksin yang berbahaya dan mengkhawatirkan. Alasannya, berpotensi membuat masyarakat di negara lain tertunda mendapatkan vaksin. Sebab itu, WHO hanya menargetkan vaksinasi 70 persen populasi di setiap negara menyusul jumlah vaksin dan ketersediaan dana yang terbatas.
Indonesia sebenarnya kaya sumber daya alam yang menjanjikan untuk pengembangan bahan baku obat maupun vaksin yang jika dikembangkan secara optimal, dapat melepas ketergantungan impor.
Misalnya, produk Petro Pharmaceutical untuk pembuatan Paracetamol. Obat-obatan berbasis biosimilar yang merupakan tiruan dari obat biologis yang sudah habis masa patennya, seperti obat biologis insulin, albumin, dan interferon.
Menkes Budi Gunadi Sadikin juga melihat peluang Indonesia sebagai produsen plasma terbesar dunia untuk kebutuhan albumin, factor eight, immunoglobulin, gamaras.
"Orang Indonesia jumlahnya 270 juta jiwa, seharusnya kita produsen plasma darah nomor empat terbesar di dunia. Masa produk yang banyak dipakai masih semuanya impor. Itu kan enggak bener, Pasti ada mafia yang tidak ingin bikin pabriknya di sini," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Budi optimistis jika seluruh sumber daya itu digarap optimal, maka Indonesia melepas 50 persen ketergantungan bahan baku obat pada mekanisme impor.
Di tataran kebutuhan vaksin dalam negeri, otoritas kesehatan sedang mengembangkan Vaksin Merah Putih yang melibatkan peneliti Universitas Airlangga bersama PT Biotis, Vaksin Merah Putih PT Bio Farma, dan Boulevard Medicine.
Selain itu, juga ada Vaksin Zifivax yang dikembangkan PT JBio melalui transfer teknologi dari Anhui Zhifei Longco, China, untuk pengembangan vaksin ber-platform protein rekombinan sub-unit. Selain vaksin COVID-19, akan diproduksi vaksin lain, seperti Meningitis, Measles Rubella, TB, dan HPV.
Vaksin dalam negeri lainnya adalah Etana bekerja sama dengan Yuxi Walvax, China, untuk produksi vaksin COVID-19 berplatform mRNA pertama di Indonesia.
Menteri BUMN RI Erick Thohir meminta kapasitas produksi vaksin dalam negeri dipersiapkan untuk menyokong peran Indonesia sebagai hub produksi vaksin dunia.
Baca juga: Pembahasan arsitektur kesehatan global libatkan menteri keuangan G20
Baca juga: HWG dorong sistem kesehatan global yang tangguh
Dana
Untuk kali pertama, 1st HMM di Yogyakarta mengundang keterlibatan menteri keuangan negara-negara G20, sebab Indonesia perlu menggalang dukungan negara anggota membentuk lembaga pendanaan global yang bersifat permanen menghadapi pandemi di masa depan.
Adalah Financial Intermediary Fund (FIF) sebagai lembaga perantara keuangan yang dipersiapkan G20 untuk memperkuat sektor ketahanan kesehatan sebagai pengembangan atas The Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A) yang selama ini bersifat adhoc.
FIF digagas dalam pertemuan Task Force yang melibatkan lembaga keuangan dan kesehatan G20 di akhir Oktober 2021. Saat itu Bank Dunia dan WHO mengembangkan konsep FIF berdasarkan masukan negara anggota G20 berupa pembentukan operasional FIF dan mekanisme akses bagi negara lain.
"Proposal ini akan dipatuhi sebagai prinsip dan tujuan bersama dan menghindari duplikasi mekanisme pembiayaan yang sudah ada," kata Juru Bicara Indonesia di G20 Siti Nadia Tarmizi.
Pertemuan itu juga membahas pandangan menteri kesehatan dan keuangan terhadap keanggotaan FIF yang bersifat inklusif, gesit dan mampu beradaptasi dengan segala perubahan serta harus efektif.
Negara yang sudah memberikan komitmen pendanaan FIF, di antaranya Indonesia sebesar 50 juta Dolar AS (Rp741,82 miliar), Amerika Serikat 450 juta Dolar AS (Rp6,6 triliun), Jerman 50 juta Dolar AS (Rp741,82 miliar), Singapura 10 juta Dolar AS (Rp148 miliar), dan yayasan amal di Inggris The Wellcome Trust 10 juta Dolar AS (Rp148 miliar).
Konsep sistem ketahanan kesehatan merupakan kebijakan yang tidak bisa ditoleransi lagi, sebab menyangkut nyawa manusia. Langkah nyata G20 bidang kesehatan di Forum 1st HMM diharapkan terus mematangkan embrio untuk lahirnya arsitektur kesehatan global yang tangguh menghadapi pandemi di masa depan.
Baca juga: Jokowi sampaikan tiga hal untuk bangun arsitektur kesehatan global
Dana
Untuk kali pertama, 1st HMM di Yogyakarta mengundang keterlibatan menteri keuangan negara-negara G20, sebab Indonesia perlu menggalang dukungan negara anggota membentuk lembaga pendanaan global yang bersifat permanen menghadapi pandemi di masa depan.
Adalah Financial Intermediary Fund (FIF) sebagai lembaga perantara keuangan yang dipersiapkan G20 untuk memperkuat sektor ketahanan kesehatan sebagai pengembangan atas The Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A) yang selama ini bersifat adhoc.
FIF digagas dalam pertemuan Task Force yang melibatkan lembaga keuangan dan kesehatan G20 di akhir Oktober 2021. Saat itu Bank Dunia dan WHO mengembangkan konsep FIF berdasarkan masukan negara anggota G20 berupa pembentukan operasional FIF dan mekanisme akses bagi negara lain.
"Proposal ini akan dipatuhi sebagai prinsip dan tujuan bersama dan menghindari duplikasi mekanisme pembiayaan yang sudah ada," kata Juru Bicara Indonesia di G20 Siti Nadia Tarmizi.
Pertemuan itu juga membahas pandangan menteri kesehatan dan keuangan terhadap keanggotaan FIF yang bersifat inklusif, gesit dan mampu beradaptasi dengan segala perubahan serta harus efektif.
Negara yang sudah memberikan komitmen pendanaan FIF, di antaranya Indonesia sebesar 50 juta Dolar AS (Rp741,82 miliar), Amerika Serikat 450 juta Dolar AS (Rp6,6 triliun), Jerman 50 juta Dolar AS (Rp741,82 miliar), Singapura 10 juta Dolar AS (Rp148 miliar), dan yayasan amal di Inggris The Wellcome Trust 10 juta Dolar AS (Rp148 miliar).
Konsep sistem ketahanan kesehatan merupakan kebijakan yang tidak bisa ditoleransi lagi, sebab menyangkut nyawa manusia. Langkah nyata G20 bidang kesehatan di Forum 1st HMM diharapkan terus mematangkan embrio untuk lahirnya arsitektur kesehatan global yang tangguh menghadapi pandemi di masa depan.
Baca juga: Jokowi sampaikan tiga hal untuk bangun arsitektur kesehatan global